RINDU INGIN MATI ..
Masih sama seperti hari kemarin. Aku merasa sendiri walau
berada ditengah keramaian. Aku merasakan sakit yang mendalam walau ditengah
kicauan canda para teman-temanku.
Aku merasa ada yang hilang semenjak kepergian kekasihku.
Kini sudah hari ke 12 dari dimakamkannya kekasihku.
“mbebh I LOVE YOU .. hari ini gag ada dosen, kita jalan
yuk..”
Pesan dinding pun masih sering ku kirimkan dalam jejaring
sosial miliknya.
Hal rutin mengunjungi makam kekasihkupun tetap kujalani
sampai sore tadi. Menulis pesan singkat ke ponselnya, menteriaki kata ‘mbebh’
sebagai panggilan sayang kami saat melintasi rumahnya, sampai membuat tulisan
dinding di jejaring sosial miliknya. Entah apa yang terjadi, tapi hati ini
selalu menolak untuk menerima kenyataan yang ada.
Kadang aku iklhas tapi hanya sesaat, karena diwaktu aku
sendiri aku kembali merindukannya.
“kamu dari mana fan?” tanya teman ku yang selalu
memerhatikan aku semenjak kepergian kekasihku.
“dari makam” jawabku singkat
“kayanya setiap hari kamu kesana deh.. kamu harus bisa
terima kenyataan fan”
“SULIT dan TIDAK SEKARANG” jawaban yang pesimis selalu aku
lontarkan dikala para sahabatku mulai meminta aku untuk tidak terlarut terlalu
dalam pada suasana berkabung.
Ini sangat sulit dan memang tidak mudah ..
Aku selalu merasa sendiri semenjak kepergiannya. Mungkin
karena aku terlalu mencintainya, karena aku terlalu menyayanginya, karena aku
begitu ingin terus bersamanya.
***
“bebh, kenapa harus hari ini? kenapa harus sekarang? kenapa !!”
Mungkin kalau ada orang melihat aku dikuburan kekasihku,
mereka akan menganggap aku ini wanita gila. Jelas saja, aku selalu berbicara
sendiri disana.
Sewaktu kekasihku masih hidup, hanya dia teman yang selalu
mendengarkan aku bercerita, dia yang selalu mendengarkan keluh kesahku,
emosiku, dan segala kebahagiaan yang aku alami disetiap detiknya.
Makanya saat aku berada dimakam kekasihku, aku selalu
berbicara kepadanya layaknya saat dia masih hidup.
Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi, Tuhan
mungkin bosan mendengarkan cerita ku, karena Dia sendiri tahu apa yang aku
alami. Tapi kekasihku ? saat dia masih hidup dia selalu siap mendengarkan apa
yang hendak keluar dari mulutku.
Sekarang dia sudah tidak ada, dan mungkin dia akan tahu
segala apa yang terjadi kepadaku layaknya Tuhan. Lalu siapa lagi yang hendak
kujadikan tempat cerita? Aku sendiriii … dan memang hanya sendiri.
Sahabat, teman bahkan keluargaku terkadang sangat amat sibuk
dengan segala masalah dalam hidup mereka.
Masalah cinta, masalah uang, masalah pekerjaan dan masalah terhadap
dirinya sendiri..
“Kenapa harus aku Tuhan …” pertanyaan yang selalu aku
lontarkan ketika pikiranku memulai ingatan tentang kesendirian.
Menangis, berdoa, berbicara pada Tuhan atau bahkan berbicara
kepada kekasihku .. semua sudah kulakukan, tapi kenapa hati aku masih saja pilu
!!
Kapan dan dimana kedamaian itu dapat aku rasakan?
***
“oke, kamu boleh kaya gini, tapi janji hanya 40 hari. Itu
batas maksimal kesedihan kamu” saran sahabat karibku yang selalu mendukung aku
untuk bangkit dari lara kesedihanku.
40 hari ? itu terlalu lama, jika memang bisa aku lakukan
untuk SABAR, TABAH dan IKLHAS, aku ingin sekarang semua terjadi, aku letih
berlarut-larut dalam kesedihan..
Tapi kenapa hati ini berkata TIDAK MAMPU !!, kenapa SULIT
yang malah kurasakan disetiap detiknya. Kenapa selalu air mata kerinduan yang
mengalir disetiap malam tiba !!
“kapan giliran aku ya bebh?” pertanyaan yang bersifat satu
arahpun selalu ku paparkan didepan nisan kekasihku.
Jelas saja bersifat satu arah, biasanya kalau aku membuat
cerita pendek, disetiap kutipan berisikan percakapan aku dan kekasihku.
Tapi sekarang ? hanya pertanyaan atau bahkan pernyataan yang
tidak tahu mau dijawab apa.
Semua keluar dari mulutku tanpa ada yang merespon, kalaupun
kekasihku membaca atau mendengar akan apa yang aku katakan dan keluh kesahkan,
aku tidak tahu apa jawabannya.
***
Hari-hari ku semakin berat kulalui sendirian, hampir 4 tahun
aku habiskan bersama kekasihku disetiap waktu kosong dalam hidupku.
Sekarang aku benar-benar sendiri. Padahal kalau dihitung
dengan jemari yang ada, aku memiliki lebih dari 10 sahabat dan 20 teman yang
seharusnya bisa mengisi kekosongan dalam sisa hidupku.
Tapi entah apa yang membuat aku buta akan keberadaan mereka.
Aku selalu merasa sepi dan sendirian dalam mengarungi hidup
ini. Mungkin karena aku belum siap menerima kenyataan akan pahitnya kisah
cintaku bersama kekasihku.
Mana ada wanita atau pria didunia ini yang tidak berkabung
duka jika ditinggal mati oleh kekasihnya.
Aku bingung dan aku merasa cacat dengan keadaan ini.
Aku ingin Tuhan tahu penderitaan yang kualami, kesepian yang
kurasakan, keinginan untuk berjumpa dengan kekasihku walau hanya untuk
mengatakan “LOVE YOU BEBH !!”.
***
“emang kamu belum dimimpiin sama pacar kamu?” tanya aryani
sahabatku.
“belum .. aku pengen dong ketemu dia, kamu kan sering
ngeliat orang-orang yang sudah gag ada ‘ar …” pintaku memaksa.
“aku juga ga tau caranya, bingung kasih tahu ke kamu, mungkin
dia belum siap, karena kamunya juga belum siap, maaf ya soalnya aku juga ga
tahu kenapa bisa ngalamin hal kaya gitu, yang jelas kalau disuruh memililh aku
ga mau kaya begitu, karena itu sangat menyakitkan ..” jelas bijak sahabatku.
“tapi kenapa dia ga pernah datang ke mimpi aku ya ‘ar … ??”
tanyaku pilu, seakan aku benar-benar tidak akan pernah melihat wajah kekasihku
walau hanya sekejap di dalam mimpi.
“karena dia tahu, kamu masih belum bisa menerima. Kalau dia
datang, itu hanya akan membuat kamu berangan-angan lebih dan merasa hidup di
dunia ini sendirian. Kalau sudah sama-sama siap, pasti akan dipertemukan oleh
Tuhan..”
Jawaban hangat yang membuat aku selalu ingin sekali bisa
mengiklhaskan kepergian kekasihku, aku ingin supaya kami bisa berjumpa walau
hanya dibawah sadar tidur malam ku.
Kerinduanku begitu besar untuk bertemu dan mengatakan I LOVE
YOU pada dirinya, ini yang membuat aku selalu ingin tidur pulas disetiap
harinya, aku ingin cepat – cepat masuk kealam mimpi ku, dan berharap dapat
menemuinya dan memeluk hangat tubuhnya kembali.
Tapi ini sangat mustahil, sampai hampir dua pekan
kepergiannya aku tidak pernah mendapatkan mimpi bersamanya.
Inilah yang membuat aku menangis disetiap kali aku terbangun
dari tidurku, dikala aku menyadari sinar mentari sudah menebarkan kehangatan
kepada sejuta umatnya, disaat aku mendapati ingatanku bahwa tidak pernah ada
dirinya mendatangi tidurku.
“apa mbebh marah sama aku? Apa mbebh sudah benar-benar tidak
mau menemui aku walau hanya dalam mimpi?”
Aku selalu menangis dan meluapkan kesedihanku didepan nisan
kekasihku dikala aku ingat setiap hari aku mendatangi makamnya namun dirinya
tidak pernah menghiasi lelapku dalam mimpi.
Ini yang membuat aku merasa sepi dan selalu sendiri, ini
yang membuat aku merasa kehilangan seratus persen kekasihku.
“Kenapa tidak pernah datang dalam mimpi? Apa sudah tidak mau
bertemu aku ? kenapa !!”
Doa singkat selalu aku haturkan disetiap malam tiba :
“biarkan malam ini aku
melihat wajahnya dan memeluknya walau hanya dalam semu belaka Tuhan … amin ”.
Tapi pagi kembali membanguniku, tanpa mimpi dan tanpa
wewangian dari kembang makam yang kusirami setiap aku berziarah kekubur
kekasihku.
“Apa yang harus aku lakukan !! apakah aku harus menunggu
malam nanti, esok dan lusa ? untuk mendapati kekasihku dalam lelapku? atau
apakah sebaiknya aku mati ? jika memang dia tidak dapat menemui ku dalam hidup
ini?”
***
I miss you so .. kekasih selamanya !!
WHERE IS MINE
Ini tentang kekesalan ku
pada kekasihku yang tidak pernah mengunjungi
ku-
Beratnya perjalanan hidup ini sangat terasa dihari-hariku.
Kepergiannya membuat aku semakin kacau dalam menjalani
hidup. Saat aku harus berfikir bahwa hidup ini masih sangat panjang, saat itu
juga aku merasakan sakit yang begitu hebat karena kesendirian yang membayangi
fikiranku.
Tuhan .. apa mungkin kekasihku akan kembali? Bukankah Engkau
sendiri yang bersabda, bahwasanya ‘tidak ada yang mustahil bagi Mu’. Seharusnya
Engkau bisa mengembalikan kekasihku kepadaku.
Tapi kenapa malah kesendirian yang mendatangi ku..
Dimana kekasihku Engkau sembunyikan? Mengapa sedetikpun aku
tidak bisa merasakan keberadaannya bersamaku?
Bukankah sewaktu dirinya masih ada didunia ini, aku adalah
orang yang paling dia cintai? Atau mungkin ada orang lain yang mengisi
hatinya hingga membuatnya sibuk menjaga dan mendatangi orang lain itu saat ini?
"Apa kami benar-benar terpisah Tuhan?"
Seharusnya aku tahu tentang isi hatinya yang sesungguhnya
sebelum kekasihku pergi meninggalkan aku untuk selamanya. Tapi mengapa malah
rasa tidak ingin bertemu yang Engkau berikan dahulu?
Penyesalan mendalam akhirnya yang selalu menemaniku
setiap detik bergulir. Aku menjadi gila dan mungkin menjadi seorang yang tidak
berTuhan..
Aku mencintainya Tuhan.. !!
Aku merindukan cinta darinya.. !!
"Apa Engkau tidak ijinkan kekasihku untuk menemaniku walau
hanya satu jam disetiap harinya?"
"Atau apa kekasihku yang sebenarnya sudah tidak mau menemui
aku?"
Tolong beri aku jawaban yang pasti agar aku dapat
menghentikan tulisan ini dan pikiranku mengenai dirinya.
Bukankah kalau orang sudah ‘mati’ masih bisa menjumpai
manusia yang masih hidup?
Tapi kenapa itu tidak terjadi sama sekali pada kami?
Mengapa seakan ini benar-benar akhir dari perjalanan cinta
kami?
Seharusnya kematian itu tidak memisahkan suatu hubungan..
Seharusnya kematian itu yang menjadi pererat sebuah
hubungan.
Karena dengan kematian, roh dari orang yang sudah mati itu
dengan mudahnya menjumpai pasangannya yang masih hidup.
Dan seharusnya pasangannya yang masih hidup itu juga
merasakan kehadiran dari orang yang dicintai itu.
Hingga kebahagiaanlah yang tercipta.
Tapi mengapa itu tidak terjadi diantara aku dan kekasihku?
Mengapa malah kesendirian yang menghantui disetiap hari-hari
ku?
Dimana pasangan yang kucintai itu?
Dimana kekasihku yang seharusnya menjaga aku walaupun
keadaan telah dipisahkan oleh jarak, ruang dan waktu?
SENDIRI dengan TANGIS (di hari ke 19)
Aku coba menghindar..
Aku bangun dan berusaha pergi dari
sepinya hati. Tapi tangan dan kaki ku gemetar begitu kencang hingga tak
mampu menopang tubuh kecil ini.
Aku terjatuh dan akan selalu terjatuh.
Kesendirian ini tidak pernah terlintas dipikiranku walau hanya sedetik saja.
Aku selalu merasa bahagia karena bersamanya.
Bersama dia yang sangat ku cintai.
Tapi kini semua berbeda, kesendirian itu datang dan terus menjadi teman hidup ku.
Biasanya jam segini, tepat saat
matahari sedang menertawakan aku hingga panas terasa menyengat tulang,
kekasihku melintasi rumah ku dengan gayanya yang sedikit nakal lalu
menggoda dan mengajakku pergi bersamanya.
Tanpa menghiraukan cibiran dari para
tetangga yang tidak pernah suka melihat gaya berbusananya. Kekasihku ada
untuk membuatku teduh dari bakaran sinar mentari disiang hari.
Sembilan belas hari sudah dia pergi meninggalkan ku.
Cerita pendek yang seharusnya
berkisahkan tentang masa liburan kuliahku dengannya berganti dengan
kisah tangis air mata seorang wanita yang ditinggal pergi kekasihnya.
Kisah rapuh hidupku mungkin akan menjadi cerita berseri dan atau sebuah novel yang tebal.
Entah mengapa, aku tidak bisa dan
mungkin tidak akan pernah bisa menjadi seorang wanita kuat yang sempat
kuramalkan dahulu saat aku berkhayal tentang sebuah perpisahan dengan
kekasihku.
Aku juga tidak mampu dan tidak akan
pernah mampu menjadi seorang wanita kuat seperti yang diharapkan oleh
teman dan para sahabatku.
Setiap hari aku membuang air mata ini
dengan harapan bisa mengembalikan keadaan menyakitkan ini menjadi
seperti beberapa pekan yang lalu.
Saat aku masih bersamanya.
Saat kekasihku masih duduk dan tersenyum disampingku,
Saat kami masih saling menatap.
Aku menangis dan bingung mau berbuat apa.
Aku berharap air mataku mampu mengembalikan dirinya kepelukanku,
Aku berharap belas kasihan dari sang pencipta agar memberikan aku kesempatan sekali lagi untuk bersamanya.
RAPUH
“ini wangi bunga melati.. bunga kesukaan kekasihku…” tuturku
spontan yang membuat takut teman-temanku.
“jangan bicara sembarangan fan ..” ujar kecut willy.
Tapi inilah kenyataan yang selalu kurasa. Setiap kali aku
mencium bau bunga, entah apa yang ada didalam benak fikiranku, bahwa diriku
merasa bahagia yang sangat luar biasa.
Aku selalu menduga, ada kekasihku bersamaku. Dan aku akan
mejadi sedih apabila wangi aroma khas orang ‘mati’ itu hilang dari penciumanku.
Setiap kali aku mengunjungi makam kekasihku, aku selalu
meminta padanya
“jangan pernah
tinggalin aku sendirian bebh, terus ada dan jagain aku.. dan jangan lupa nanti
kita ketemuan dimimpi.. LOVE YOU …”
Mungkin memang aneh dan membingungkan, atau bahkan akan
menjadi layaknya orang tidak waras yang berimajinasi akan ketidakpastian
didunia ini.
Yaa … mungkin aku memang gila, aku gila semenjak ditinggal
mati oleh kekasihku.
Aku gila semenjak tidak ada kekasihku dalam keseharianku.
Aku memang gila Tuhaaaaaaan …
***
“semalem aku mimpi bertemu kekasihku…” ceritaku girang.
“oh yaa ? trus ceritanya seperti apa?” tanya emma, sahabatku
penasaran.
“aku lagi ngantri mau beli hamburger di KFC, tiba-tiba
dia datang dan membawakan aku hamburger, tanpa berfikir panjang aku langsung
memeluknya..”
“tuhkan… pasti ketemu walau hanya dalam mimpi…” tutur dewasa
emma.
“tapi hanya sesaat, belum lama aku bersamanya, mimpiku
tiba-tiba berubah dilain tempat dan tidak bersamanya lagi..” sedih ku.
“sabar … yang penting sudah sempat memeluk dia..”
Jawaban yang kembali hanya membuatku merasa tenang dalam
sesaat.
Aku memang sangat bahagia saat itu. Aku merasa kekasihku
nyata didalam mimpiku.
Peristiwa yang membuatku selalu ingin terlelap disetiap
menit putaran jarum jam berjalan.
Yang membuat aku rindu akan datangnya langit gelap yang
disebut malam. Aku jadi ingin terus tertidur untuk menantikan datangnya kekasihku
disetiap lelap panjangku.
Aku sangat merindukan kekasihku, sangat amat merindukannya
Tuhan ….
[on facebook] :
“sabar kawan, kita akan merasa sangat kehilangan seseorang
saat orang itu benar-benar pergi dari hidup kita untuk selamanya”
Sebuah pesan dinding terlukis di situs jejaring sosial
milikku yang dikirim oleh seorang wanita yang telah mengakui dirinya sebagai
adik (ketemu gede) dari kekasihku.
Entah apa yang dimaksud wanita itu, mungkin dia berusaha
menghibur diriku dengan perkataan yang sangat umum diucapkan untuk seorang yang
sedang berduka seperti diriku.
Tapi kurasa dia percuma, karena memang bukan hanya dia yang
meminta aku untuk SABAR, IKLHAS dan BANGKIT dari keterpurukan ini.
Sudah puluhan teman dan sahabat-sahabatku meminta aku untuk
bisa seperti seorang wanita kuat.
Bahkan sudah ratusan atau mungkin ribuan kata yang telah
terukir indah dipesan dinding situs jejaring sosial milikku dengan isi pesan
yang sama.
Sudah sering aku mencoba bangkit dari keterpurukan ini.
Sudah sangat sering aku berkata ‘iklhas’ untuk kepergian
kekasihku.
Sudah sangat amat sering aku mencoba tersenyum dihadapan
para sahabat yang menghibur hatiku.
Tapi sampai detik ini semua itu percuma.
Aku masih hancur.. aku masih sangat hancur seperti hari
pertama aku ditinggal oleh kekasihku.
Aku merasa rapuh dan mungkin sangat rapuh.
Entah apa yang membuat aku tidak yakin dengan kehidupan
indah dimasa depan dalam hari-hari ku.
Entah apa yang membuat aku menjadi seorang yang sangat bodoh
untuk menjadi maklhuk pesimis didunia ini.
Aku tidak yakin Tuhan… kalau aku mampu melewati semua ini.
Aku tidak yakin Tuhan… kalau diriku bisa menjadi seorang
wanita kuat seperti yang mereka mau.
Dibenakku hanya ada bayang wajah kekasihku saat tertutup
rapi dengan baluran kapas putih sebelum masuk kedalam liang kubur.
Dianganku hanya terlukis indah bibir pucat yang terbelah
kering karena panas dari dalam tubuh kekasihku.
Semua hanya tentang dirinya. Hanya tentang kisahnya. Hanya
tentang cintanya.
Tuhan .. jika saja dapat kutemui alat itu, aku inginkan dia
kembali..
Jika saja aku tahu letak Engkau menyembunyikan mesin
pengulang waktu, maka aku akan kembali kemasa indah kami berdua.
Aku tidak mampu atau mungkin aku tidak akan mampu menjadi
seorang diri seperti saat ini.
Aku membutuhkan kekasihku ada disini bersamaku Tuhan …
Seperti waktu itu..
Waktu kami bersama ..
Waktu dirinya membelai hangat tubuhku didinginnya hujan yang
Engkau kirim kebumi pertiwi ini.
Waktu dirinya mencium mesra kedua mataku sebelum kami
mengakhiri pertemuan disetiap malam tiba.
Waktu dirinya memegang erat jemariku saat kami berjalan
menikmati hari dikota yang penuh misteri ini.
Aku merindukannya dan sangat amat merindukan kekasihku
kembali dihadapanku untuk mengatakan ‘I LOVE YOU’
“sabar ... semua akan indah pada waktunya, nanti juga kamu
akan ketemu dia lagi”
“tapi kapan ?? kapan giliran aku?”
Kebanyakan dari mereka hanya meminta aku untuk bersabar dan
mengatakan sebuah kalimat formalitas yang bertujuan untuk membuat aku menjadi
lebih kuat.
Tapi mereka tidak pernah tahu akan apa yang terjadi didalam
hatiku.
Penolakan yang begitu kuat untuk menerima kenyataan bahwa
kekasihku telah pergi dari kehidupanku selamanya.
Entah apa yang terjadi pada hati dan pikiranku yang tidak
pernah bisa mengatakan ‘AKU MAMPU dan AKU BISA HIDUP TANPA KEKASIHKU’.
Yang aku tahu saat ini aku masih sangat mencintainya.
Yang aku tahu saat ini aku masih sangat membutuhkannya.
Yang aku tahu saat ini aku masih sangat merindukannya.
Dan mungkin ..
Yang aku tahu saat ini aku RAPUH tanpanya.
Hari itu tidak hujan tapi hanya lebih menyerupai sebuah
gerimis. Aku cuma bisa terdiam, memandang gerimis yang seakan menari
mengikuti alunan desir angin sore itu. Sebenarnya aku ingin menangis,
menumpahkan semua air mata.
Aku ingin berlari ke luar halaman agar gerimis itu bisa bersanding dengan gerimis air mataku. Tapi, aku mencoba membendung semuanya. Aku tak mau laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku melihatnya. Aku takut dia berpikir aku masih mengharapkannya, walaupun kenyataannya aku memang masih mengharapkannya.
“Dir, kita tidak bisa terus-menerus seperti ini.” ucap Asta. Laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku.
“Lalu kamu mau hubungan ini berakhir?” aku menoleh ke arahnya. Dia hanya terdiam. Kubuang lagi pandanganku dari wajahnya.
Gerimis masih menari bersama irama angin. Hanya suara jatuhnya bulir-bulir air yang menjadi pengiring saat kami hanya terdiam. Aku masih mencoba menenangkan diri dan pikiran yang mungkin sudah sedikit berantakan. Tidak mungkin menyelesaikan masalah saat hati dan pikiran sedang kacau.
“Ta, kalau kamu memang ingin kita berakhir. Oke. Aku tidak masalah. Aku juga tidak bisa terus-terusan kamu buat seperti ini.” suaraku memecah keheningan. “Percuma aku datang kesini untuk menjenguk kamu. Alasanmu sakit tapi ternyata kamu memberiku kejutan dengan sebuah pertujukan yang-”
“Dira, cukup!” Asta memotong pembicaraanku.
Seketika bayangan itu datang lagi. Bayang-bayang sebuah pertunjukan yang mampu membuat hatiku seperti tersayat lalu menyisakan luka yang menganga. Pertunjukan memuakkan kala ia sedang mesra merangkul seorang wanita. Dengan lebih mesra lagi dia mendaratkan ciuman di kening wanita itu. Mesra, bukan? Aku sudah terlalu sering menyaksikan Asta bersama wanita (lebih tepatnya mesra bersama wanita). Tapi, untuk kali ini sudah terlalu berlebihan. Terlalu menyakitkan. Terlalu membuat patah hatiku.
Aku bisa saja dari dulu meninggalkan Asta ketika dia pernah menyakitiku. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih mencintai Asta dan aku masih ingin bersama dia. Mungkin aku sudah terlalu mencintai Asta, hingga sudah berapa kali dia menyakitiku, aku masih tetap bertahan dengannya. Semakin dia menyakitiku, semakin aku tak bisa melepasnya. Tak mudah meninggalkan begitu saja orang yang kita cintai, meskipun dia sering menyakiti kita. Karena satu alasan: cinta.
Dewasta Deriandri. Dia laki-laki yang mengajariku mengenal cinta serta segala tetek bengeknya. Dari dirinya pula aku mengenal apa itu sakit hati, apa itu patah hati. Asta adalah cinta pertamaku. Kami bertahan sejak duduk di bangku SMA, hingga akan menjadi seorang mahasiswi. Mungkin itu yang membuat aku sulit melepasnya meski telah sering aku disakitinya.
“Dir, a-aku minta maaf…” ucap Asta ragu. Aku menoleh ke arahnya. Kulihat dia menunduk dan seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. “Aku pikir… lebih baik kita putus.” lanjutnya.
Putus? Secepat itu dia mengatakan putus. Aku masih seperti tidak percaya saat itu. Aku mengira itu hanya sebuah mimpi buruk karena aku lupa membaca doa sebelum tidur. Tapi, saat itu bukan mimpi. Aku yakin sekali itu bukan mimpi karena seketika kata itu keluar dari mulut Asta, hatiku langsung perih.
Sejujurnya aku tidak bisa menerima kata itu harus terucap. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan kalau aku harus mengakhiri hubungan dengannya. Aku menyadari bahwa aku sudah terlalu sering disakitinya dan memang sudah seharusnya aku pergi. Tapi kalau aku masih belum bisa?
Tapi, tidak mungkin juga aku memintanya menarik kata-katanya lagi.
“Aku masih sayang kamu, Dir. Tapi, sepertinya kita-”
Sebelum Asta menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyambar tasku. Aku berlari ke luar halaman menembus gerimis sore itu. Saat itu hatiku benar-benar hancur. Tidak pernah terbayang sama sekali bahwa pada hari itu akan menjadi hari terakhirku bersama Asta. Cinta yang telah kita pelihara selama tiga tahun itu pun harus berakhir pula. Tak ada pilihan lagi bagiku selain harus segera beranjak pergi meninggalkannya. Aku harus segera menjauh darinya walau aku tahu itu akan sangat sulit kulakukan. Tapi, tak mungkin aku memohon padanya agar kembali menarik ucapannya itu.
Cinta membuatku harus tersakiti lagi. Padahal, aku pikir cinta akan memberiku kebahagiaan. Bukankah cinta itu anugerah dari Tuhan? Mengapa harus ada sesuatu yang menyakitkan sebuah anugerah Tuhan? Kini, cinta membuatku takut untuk mencintai lagi.
Air mataku sudah tertumpah bersama jatuhnya kawanan air yang membasahiku.
—
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Dir, sudah cukup Asta menyakitimu. Kau perlu mengasihi dirimu sendiri, Dir.” Rai menasihatiku setelah aku menceritakan tentang kejadian saat gerimis kala itu. Sudah berulangkali dia mencoba meyakinkanku untuk pergi dari kehidupan Asta. Tapi, dia tidak cukup bisa untuk meruntuhkan dinding asmara yang kubangun untuk Asta.
“Tapi aku masih menyayanginya, Rai. Kamu tahu kan?”
Aku masih menyayanginya. Aku masih tidak bisa melepaskan Asta untuk pindah ke pelukan orang lain. Mata dan hatiku juga belum cukup kuat jika harus melihatnya bergandeng mesra dengan wanita lain. Aku tidak bisa melihat itu semua. Cinta sudah terlalu jauh membawaku pada dunia Asta. Cinta telah mengurungku dalam penjara cinta Asta. Meskipun Asta telah memilih untuk tidak bersamaku lagi.
“Dir, aku sahabatmu. Aku tidak bisa terus-menerus melihatmu seperti ini.” ucap Rai. “Asta sudah jelas-jelas tidak mengharapkanmu lagi, lalu kenapa kamu masih memikirkannnya?” suara Rai begitu keras hingga membuat beberapa pengunjung café lain menoleh ke arah kami.
Aku tidak mengerti apa yang sedang ada di pikiranku. Perasaanku masih mengharapkan Asta dan aku berharap bisa kembali lagi padanya. Meski Rai telah berulang kali memberitahuku untuk tidak berharap pada laki-laki seperti Asta lagi, tapi hatiku tak bisa dibohongi. Dan untuk saat ini aku masih belum bisa melepas bayang-bayang Asta. Mungkin aku akan melupakannya tapi tentu tidak sekarang. Semua butuh waktu.
“Dira, aku sudah berusaha meyakinkanmu. Tapi, kau tetap pada pendirianmu.” Rai beranjak dari kursinya. “Kau tahu kan besok aku akan pergi? Jadi, anggap ini permintaan terakhirku sebelum aku pergi.” Lalu dia pergi keluar dari café. Kulihat dia menyeberang jalan di tengah gerimis.
Aku terdiam dan mencoba mencerna satu per satu kata yang Rai ucapkan barusan. Benar, memang. Besok siang Rai akan pergi ke Austria untuk melanjutkan kuliahnya disana. Dia ingin mewujudkan mimpinya sebagai designer grafis yang handal. Maka dari itu, kami sengaja menghabiskan malam ini di café sebagai malam perpisahan kami sebelum Rai pergi. Kulihat keluar café, Rai sudah tidak terlihat.
Mataku tertuju pada sebuah block note yang terletak di atas meja. Aku ingat itu milik Rai. Aku mengambil block note tersebut. Aku ragu untuk membukanya, karena aku tahu Rai tak pernah mengijinkanku untuk melihat apa yang dia tulis di block note tersebut. Dengan rasa penasaran dan keberanian secukupnya, aku membuka lembar demi lembar block note itu. Lalu, tatapanku terhenti pada sebuah halaman yang bertulis “Ini Tentang Sahabat atau Cinta?”.
Kubaca kelanjutan tulisan itu. Tulisan yang membuat jantungku seperti ingin berhenti berdetak. Tulisan yang membuatku tidak percaya. Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca. Aku tidak mengerti kenapa bisa-bisanya Rai menulis seperti ini. Lalu, beberapa bulir air menetes di wajahku.
—
Kulempar blocknote itu ke meja Rai. Dia terkejut dan langsung wajahnya menengadah ke arahku.
“Eh, Dira!” ucap Rai sambil beranjak dari kursinya. “Kau akan mengantarku juga?” tanya Rai.
“Apa maksud tulisan di halaman terakhir itu?” tanyaku dengan nada serius. “Kau mencintaiku, Rai?” lanjutku dengan sedikit berteriak. Rai hanya diam tak menjawab. Wajahnya memperlihatkan kalau dia sedang kebingungan.
“Jawab, Rai!” aku membentaknya. Rai masih tidak mau membuka bibirnya. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dan tak berani menatap wajahku. “Kenapa tidak jawab, Rai?” aku kembali bertanya dengan nada yang parau.
“Dir, ini tidak seperti yang-”
“Kau selama ini mencintaiku ‘kan?” Air mataku mulai mengalir. “Iya, kan?”
“Iya. Aku mencintaimu, Dir.” jawab Rai sambil menatap wajahku lekat-lekat. Air mataku semakin tidak bisa kutahan. Aku benar-benar tidak percaya kalau selama ini Rai menyimpan perasaannya padaku. Sahabat yang setiap hari mendengar curhatku tentang kekasihku.
Rai mendekatiku dan langsung memelukku. Aku merebahkan kepalaku di dada bidangnya.
“Maaf, Dir.” ucap Rai dan aku merasakan detak jantungnya lebih cepat. “Sudah lama aku menyimpan perasaan ini, mungkin 3 tahun, tapi aku tak pernah berani mengatakannya. Aku tahu kamu sangat mencintai Asta. Aku juga takut ini akan menghancurkan persahabatan kita, Dir.” lanjutnya sambil membelai-belai lembut rambutku.
Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba aku merasa nyaman saat berada di pelukan Rai. Tak seperti sebelumnya, dimana pelukan Rai terasa biasa bagiku. Sebuah pelukan seorang sahabat. Wajahku yang menempel erat di dadanya merasakan detak jantung Rai begitu cepat, dan seketika menular ke jantungku. Aku juga merasa detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Aku yakin Rai mengetahuinya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku. Aku masih tidak ingin lepas dari pelukan Rai saat ini. Aku ingin terus didekapnya.
“Dira, aku harus pergi. Maaf, ya!” Rai melepaskan pelukannya. Dia mengambil tasnya lalu melangkah keluar rumah. Sementara aku masih terdiam dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Perpisahan ini tidak seperti perpisahan dua orang sahabat. Tapi, perpisahan ini adalah perpisahan dua orang yang saling jatuh cinta. Ya, aku mencintainya juga sekarang. Setelah kurasakan nyaman di pelukannya dan seketika detak jantung lebih cepat dari biasanya. Aku mengerti bagaimana perasaan Rai selama ini. Tidak mudah memendam perasaan kepada seseorang selama itu. Tapi, Rai bisa melakukannya. Aku tahu dia benar-benar mencintaiku.
“Dira, jaga dirimu baik-baik.” Tiba-tiba Rai berbisik di telingaku. Dia memelukku dari belakang. Rai membalik badanku dan membuat kami berhadap-hadapan. “Aku mencintaimu.” kata Rai lalu mengecup keningku.
Dengan segenap perasaan yang berkecamuk di dalam hati, kurelakan kepergian Rai. Mobilnya melaju di bawah guyuran gerimis siang itu. Perlahan aku melangkah keluar halaman dan mengamati mobil Rai sebelum hilang di ujung jalan kompleks. Tak terasa titik-titik air gerimis membasahi rambut dan bajuku. Wajahku menengadah. Kulihat awan masih terlihat kusam dan wajahku sudah dipenuhi bulir-bulir air gerimis dan air mataku.
Di gerimis yang membasahiku, air mataku harus kembali mengalir. Aku harus kehilangan cinta lagi. Dulu, gerimis memisahkanku lewat sebuah pengkhianatan. Kini, saat aku menemukan cintaku yang baru gerimis membentangkan jarak di antara kami.
“nama ku permata”
“kamu dari jurusan apa?”
“aku dari jurusan ekonomi, kalaw kamu?”
“aku dari sastra”
Itu lah awal permulaan perkenalan kami, yang akhirnya kami pun saling bertukaran nomor telepon. Awal dari pertemuan itu yang akhirnya kami berdua saling ketemu di kampus maupun di luar kampus.
Entah kenapa aku merasa nyaman saat bersamanya apabila saat dia berada di samping ku, kadang dia sms ku minta jemput kadang pula dia sms ku minta ketemuan, dia memang berbeda dengan wanita lain yang selama ini ku kenal, ternyata dari kecerian yang selalu ku lihat ini ada sesuatu yang dia sembunyikan, yaitu penyakitnya pada kerusakan pada ginjalnya, dia adalah sosok wanita yang sangat penyayang dan dia adalah sosok wanita yang sangat baik bagi ku, kecerian itu kini telah tiada.
Pada suatu hari dia berkata kepadaku, “ada seseorang wanita memakai pakaian putih dan dia membawa setangkai bunga, apakah kamu tau buat siapa bunga itu?”
Aku pun tidak tahu apa maksud dari perkataan dia tersebut, dan dia pun berkata “aku sayang sama kamu, boleh kah aku menyanyangi diri mu”, aku pun menjawab “boleh-boleh saja, tapi kata sayang itu kan luas buat siapa saja”, “ya memang sudah lama aku menyukai dirimu ahmad…”
“bukannya kamu tidak mau pacaran dulu hehehehe…”
“untuk yang terakhir kalinya mau kah kamu menjadi pacar ku?”
“aku pun sayang padamu permata, aku mau menjadi kekasih mu…”
“aku ingin bertemu diri mu sekarang?”
“bukannya kamu sedang sakit?”
“yah di rumah ku lah, tapi kamu bawa buah-buahan y”, sama martabak dan yang lain lain hehehe”
“ok deh”
“jangan deh kamu bawa bunga saja”
hati ku langsung berpikir ‘kenapa tiba tiba dia meminta bunga’
Aku pun langsung bergegas menuju ke rumahnya yang tak jauh dari rumah ku ya sekitar kurang lebih 4 km, aku pun sampai rumahnya dan aku pun bertemu dengan orangtuanya, aku pun langsung disuruh masuk untuk menemui permata, air mata ini tak bisa tertahan saat aku melihat keadaan permata yang kurus akibat penyakit yang dia alami saat ini, setelah ku bercanda dengannya dia memanggil ayahnya dan adiknya untuk menemaninya dengan tersenyum dia memandang kami, tak lama kemudian dia berkata, ayah aku ngantuk aku tidur dulu ya, langsung saja matanya pun terlelap tidur sambil tersenyum, aku pun langsung memegang kakinya yang dingin sekali dan langsung memberitahu kepada ayahnya, pak kakinya dingin sekali, ayahnya pun langsung mengeluarkan air matanya disitulah akhir pertemuan kami. Aku tak menyangka akhir sebuah pertemuan kami seperti ini, tak ada sehari pun kami jadian, tak lama juga kami saling berbicara sebelum dia menutupkan matanya.
Ya allah tempatkan lah dia di sisi mu, ampuni lah segala dosa dosanya, pertemukanlah kami di akhirat nanti karena dia wanita yang sangat ku sayangi, aku ikhlas atas kepergiannya.
Kasih Sekejap Mata
Setelah lebih dari 14 tahun aku hidup bertetangga
dengannya. Genap 3 tahun sudah dia meninggalkanku. Ya saat itu aku duduk
di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Pertama. Saat terakhir sebelum ku
berpisah dengannya, tepat sebelum hari kelulusan. Deka, ya namanya Deka.
Aku dan Deka sudah berteman sejak kecil. Namun, dia pindah karena
urusan bisnis kedua orangtuanya. Dia melanjutkan pendidikannya di Kota
Jakarta. Jauh memang dari tempatku yang berada jauh dari kota.
Suatu hari, saat aku berkumpul bersama keluargaku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Aku pun berlari untuk membuka pintu. Sepertinya wajah itu tak terlalu asing dalam ingatanku. Aku melihatnya dalam-dalam, dari ujung kepala hingga kaki ku amati. Hingga aku tak sadar bahwa dia melihatiku sedari tadi.
“Permisi…” suaranya mengagetkanku.
“Apakah orangtuamu ada?” tanyanya lagi.
“Oh, ada ada silahkan masuk, sebentar saya panggilkan.”
Suatu hari, saat aku berkumpul bersama keluargaku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Aku pun berlari untuk membuka pintu. Sepertinya wajah itu tak terlalu asing dalam ingatanku. Aku melihatnya dalam-dalam, dari ujung kepala hingga kaki ku amati. Hingga aku tak sadar bahwa dia melihatiku sedari tadi.
“Permisi…” suaranya mengagetkanku.
“Apakah orangtuamu ada?” tanyanya lagi.
“Oh, ada ada silahkan masuk, sebentar saya panggilkan.”
Ketika aku sibuk membuatkan minum, sepertinya cowok itu sedang berbicara banyak dengan kedua orangtuaku. Setelah aku kembali…
“Din, apa kamu tidak mengenalinya?” tanya ayahku. Aku hanya terdiam.
“Kamu lupa dengan aku?. Aku Deka, Deka Mahendra.” kata cowok itu.
Aku hanya bisa menangis dan memeluknya.
“Deka kamu kemana saja setelah lebih dari 3 tahun kamu meninggalkanku, aku menunggumu Deka.”
“Aku tidak kemana mana Adinda. Sekarang aku akan selalu berada di sampingmu, menjagamu dan menemanimu. Tenanglah Adinda.” jawabnya sambil berusaha menenangkanku.
“Oh ya Adinda, bagaimana kalau besok aku mengajakmu pergi, kamu mau tidak?” tanyanya padaku. Aku hanya bisa tersenyum pertanda aku setuju.
“Din, apa kamu tidak mengenalinya?” tanya ayahku. Aku hanya terdiam.
“Kamu lupa dengan aku?. Aku Deka, Deka Mahendra.” kata cowok itu.
Aku hanya bisa menangis dan memeluknya.
“Deka kamu kemana saja setelah lebih dari 3 tahun kamu meninggalkanku, aku menunggumu Deka.”
“Aku tidak kemana mana Adinda. Sekarang aku akan selalu berada di sampingmu, menjagamu dan menemanimu. Tenanglah Adinda.” jawabnya sambil berusaha menenangkanku.
“Oh ya Adinda, bagaimana kalau besok aku mengajakmu pergi, kamu mau tidak?” tanyanya padaku. Aku hanya bisa tersenyum pertanda aku setuju.
Keesokan harinya dia membawaku ke sebuah taman yang indah. Kita
berbicara tentang masa kecil kita dulu. Tiba-tiba Deka berkata padaku
“Adinda boleh nggak aku jujur tentang perasaanku selama ini. Sebenarnya
aku tuh suka sama kamu sejak dulu.” Aku terdiam untuk menahan setiap
bulir air mata yang semakin mendesak untuk dikeluarkan. “Adinda, apa aku
salah bila aku mencintaimu Adinda? apa aku salah?” tanya untuk
memperjelas. Akhirnya pertahananku sia-sia, aku pun menangis di
pelukannya. “Tidak Deka, kamu tidak salah sama sekali, aku juga
mencintaimu sejak dulu. Selama ini aku hanya bisa bersabar menantimu
kembali.”
Setelah kejadian sore itu, kami sering menghabiskan waktu bersama.
Entah nonton, jalan-jalan, makan, atau hanya sekedar berbincang-bincang
di taman. Hingga suatu hari ketika kita berada di taman, Deka tiba-tiba
pingsan. Aku pun panik lalu membawanya ke Rumah Sakit. Aku panik sekali,
aku takut terjadi sesuatu dengan Dika. Akhirnya dokter keluar dan
memanggilku untuk ikut ke ruangannya. Dokter menjelaskan tentang apa
yang terjadi pada Deka. Dokter pun berkata bahwa Deka tidak bisa
bertahan lebih dari 2 minggu. Aku pun menangis sekeras yang aku bisa.
“Tuhan kenapa kau limpahkan semua ini kepada ku Tuhan, aku baru saja bersama dia dan sekarang kau ingin mengambilnya dariku.” Akan tetapi dokter berpesan bahwa jangan pernah kita menunjukkan kekhawatiran kita di hadapannya, karena itu semua akan memperburuk keadaannya.
“Tuhan kenapa kau limpahkan semua ini kepada ku Tuhan, aku baru saja bersama dia dan sekarang kau ingin mengambilnya dariku.” Akan tetapi dokter berpesan bahwa jangan pernah kita menunjukkan kekhawatiran kita di hadapannya, karena itu semua akan memperburuk keadaannya.
Hari demi hari ku jalani bersama Deka seperti biasa hingga tak terasa
sudah 1 minggu lebih aku bersama Deka. Deka tidak pernah bertanya
kepadaku apa yang telah terjadi pada dirinya. Inikah alasannya mengapa
Deka datang kepadaku dan memintaku untuk selalu bersamanya. Rupanya dia
tahu bahwa kebahagiaannya tidak akan berlangsung lama dan dia memilih
aku untuk menemani setiap hembusan nafas terakhirnya.
Di sebuah taman Deka berkata kepadaku “Adinda, jika suatu hari ada
seorang pangeran yang meninggalkan putrinya begitu saja, menurutmu apa
yang akan sang putri lakukan?”
“Sang putri akan menangis tersedu karena pangerannya telah pergi” jawabku.
“Tidak Adinda, seharusnya sang putri tegar dalam melewatinya karena dengan menangis tersedu, akan semakin sulit bagi sang putri untuk melupakan pangerannya” jawabnya padaku. Aku hanya bisa menahan butiran air mataku agar aku tidak menangis di hadapan Deka.
“Adinda, bolehkah aku bersandar di pundakmu Adinda. Aku ingin melewati detik demi detik hari-hariku bersama dan aku tidak ingin melewatkan setiap detik hembusan nafasku bersamamu.” jawab Deka menatap wajahku dalam-dalam.
“Boleh Deka, aku akan selalu ada untukmu.” jawabku sambil menggenggam tangan Deka.
Akhirnya Deka pun bersandar di pelukanku, entah sudah berapa jam Deka dan aku hanya duduk saja dan tidak ada kata yang keluar sedikit pun. Hingga aku merasakan tubuh Deka semakin lemas dan semakin berat di pelukanku.
“Deka, Deka, Deka” tanyaku untuk memastikan keadaannya, namun tidak ada balasan.
Aku hanya bisa menangis ketika menyadari inikah akhir perjalananku bersama Deka, inikah akhir kisah cintaku bersama Deka. Tuhan, mengapa begitu cepat kau renggut kebahagiaanku Tuhan.
“Sang putri akan menangis tersedu karena pangerannya telah pergi” jawabku.
“Tidak Adinda, seharusnya sang putri tegar dalam melewatinya karena dengan menangis tersedu, akan semakin sulit bagi sang putri untuk melupakan pangerannya” jawabnya padaku. Aku hanya bisa menahan butiran air mataku agar aku tidak menangis di hadapan Deka.
“Adinda, bolehkah aku bersandar di pundakmu Adinda. Aku ingin melewati detik demi detik hari-hariku bersama dan aku tidak ingin melewatkan setiap detik hembusan nafasku bersamamu.” jawab Deka menatap wajahku dalam-dalam.
“Boleh Deka, aku akan selalu ada untukmu.” jawabku sambil menggenggam tangan Deka.
Akhirnya Deka pun bersandar di pelukanku, entah sudah berapa jam Deka dan aku hanya duduk saja dan tidak ada kata yang keluar sedikit pun. Hingga aku merasakan tubuh Deka semakin lemas dan semakin berat di pelukanku.
“Deka, Deka, Deka” tanyaku untuk memastikan keadaannya, namun tidak ada balasan.
Aku hanya bisa menangis ketika menyadari inikah akhir perjalananku bersama Deka, inikah akhir kisah cintaku bersama Deka. Tuhan, mengapa begitu cepat kau renggut kebahagiaanku Tuhan.
Aku Akan Kembali
Paris… Seperti biasa, kota ini selalu terlihat menawan.
Elegant… Manis… Romantis.. Sudah jam 9 malam, namun jalanan masih
terlihat ramai dengan turis yang berlalu lalang. Rela berdesak-desakkan
hanya untuk mengamati keindahan Menara Eiffel di malam hari. Tak peduli
pada dinginnya malam pra-natal.
Natal… Ah, ya. Seminggu lagi akan ada perayaan Natal besar-besaran di
depan Menara Eiffel. Pemerintah akan membuat panggung super besar dengan
penampilan Natal spektakuler sepanjang tahun ini. ¬Bodo amat, aku tidak
tertarik. Bagiku, hari Natal sama seperti hari lain. Datar. Tak ada
istimewanya. Tapi, mengapa orang-orang begitu antusias menyambut Natal?
Mereka bilang natal adalah hari yang indah, penuh keceriaan,
kegembiraan, cinta.. Apalagi jika berkumpul dengan keluarga.
Aku tak mengerti.. Tak akan pernah mengerti karena aku sendiri tak pernah merayakan Natal. Ibuku sudah meninggal sedangkan ayahku.. Cih, boro-boro merayakan Natal dengannya, mengobrol saja kami sangat jarang. Beliau lebih sering menghabiskan waktu dengan alkohol dan pulang larut malam. Beliau tak pernah bertanya tentang apa yang aku rasakan, aku pikirkan. Aku.. kesepian.
Sampai akhirnya, setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Melakukan apa yang aku inginkan dengan uang hasil jerih payahku bekerja paruh waktu. Sudah cukup aku merasakan kesendirian ini. Sudah cukup. Setelahnya, aku tak pernah pulang ke rumah.
Sama sekali..
Aku tak mengerti.. Tak akan pernah mengerti karena aku sendiri tak pernah merayakan Natal. Ibuku sudah meninggal sedangkan ayahku.. Cih, boro-boro merayakan Natal dengannya, mengobrol saja kami sangat jarang. Beliau lebih sering menghabiskan waktu dengan alkohol dan pulang larut malam. Beliau tak pernah bertanya tentang apa yang aku rasakan, aku pikirkan. Aku.. kesepian.
Sampai akhirnya, setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Melakukan apa yang aku inginkan dengan uang hasil jerih payahku bekerja paruh waktu. Sudah cukup aku merasakan kesendirian ini. Sudah cukup. Setelahnya, aku tak pernah pulang ke rumah.
Sama sekali..
***
Menikmati sepotong kue ditambah secangkir teh hangat di pagi hari
yang dingin. Beginilah caraku memulai cuti natal yang diberikan
perusahaan padaku. Ah, sudah lama aku tak sesantai ini. Ketika aku
sedang menikmati kedamaian di pagi hari ini, telepon apartemenku
berbunyi. Terpaksa, aku berjalan dengan langkah gontai untuk mengangkat
telepon.
“Halo?” kataku dengan suara berat, malas.
“Halo, Tn. Takayoshi. Saya resepsionis apartement. Ingin mengkonfirmasi ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda. Namanya, Shena. Apa benar anda mengenalnya?”
Beberapa detik kemudian, aku terdiam. Berpikir lama sekali. Mana pernah aku mempunyai kenalan bernama Shena?
“Siapa dia? Aku tidak mengenalnya.”
“Anda sudah yakin? Tidak mengenal Shena?”
Sekali lagi, aku berusaha mencari nama ‘Shena’ di dalam memori otakku sampai terbesit sesosok anak perempuan kecil yang sedang berusaha menghiburku sampai membuatku tertawa lepas. Lepas sekali. Dia.. sahabat masa kecilku!
“Ah! Aku tahu.. Aku mengenalnya. Suruh dia tunggu disana. Biar aku yang jemput dia disana.” Sahutku mengakhiri percakapan dan segera berganti pakaian.
Shena.. Lama kita tidak bertemu. Aku merindukannya. Namun, aku tak punya kesempatan untuk mencari kabar tentangnya. Aku tak percaya. Dia berhasil menemukanku dari sekian banyaknya penduduk imigran di Paris.
Tak sabar, aku keluar lift dengan tergesa-gesa dan menemukan sosok perempuan berambut panjang sepunggung, berkulit putih, tinggi, cantik. Dia menyambutku dengan lambaian tangan dan seringaian yang lebar. Oh.. dia masih sama seperti dulu.
“Shena..” kataku dengan mata yang berbinar-binar. Sudah lama aku merindukan pertemuan seperti ini. “Bagaimana kamu bisa menemuiku disini?”
“Mmm.. Ada deh. Nggak susah kok mencari imigran dari Jepang tapi bertampang bule seperti kamu, Yoshino-Kun.”
Yoshino-kun. Sudah lama aku tak dipanggil dengan sebutan Jepang itu.
“Bagaimana kalau kamu aku ajak makan di luar? Shena-Can.” Kataku nyengir.
Tak perlu menunggu lama, dia langsung menganggukkan kepalanya. “Sekalian. Ada yang perlu aku bicarakan.”
“Halo?” kataku dengan suara berat, malas.
“Halo, Tn. Takayoshi. Saya resepsionis apartement. Ingin mengkonfirmasi ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda. Namanya, Shena. Apa benar anda mengenalnya?”
Beberapa detik kemudian, aku terdiam. Berpikir lama sekali. Mana pernah aku mempunyai kenalan bernama Shena?
“Siapa dia? Aku tidak mengenalnya.”
“Anda sudah yakin? Tidak mengenal Shena?”
Sekali lagi, aku berusaha mencari nama ‘Shena’ di dalam memori otakku sampai terbesit sesosok anak perempuan kecil yang sedang berusaha menghiburku sampai membuatku tertawa lepas. Lepas sekali. Dia.. sahabat masa kecilku!
“Ah! Aku tahu.. Aku mengenalnya. Suruh dia tunggu disana. Biar aku yang jemput dia disana.” Sahutku mengakhiri percakapan dan segera berganti pakaian.
Shena.. Lama kita tidak bertemu. Aku merindukannya. Namun, aku tak punya kesempatan untuk mencari kabar tentangnya. Aku tak percaya. Dia berhasil menemukanku dari sekian banyaknya penduduk imigran di Paris.
Tak sabar, aku keluar lift dengan tergesa-gesa dan menemukan sosok perempuan berambut panjang sepunggung, berkulit putih, tinggi, cantik. Dia menyambutku dengan lambaian tangan dan seringaian yang lebar. Oh.. dia masih sama seperti dulu.
“Shena..” kataku dengan mata yang berbinar-binar. Sudah lama aku merindukan pertemuan seperti ini. “Bagaimana kamu bisa menemuiku disini?”
“Mmm.. Ada deh. Nggak susah kok mencari imigran dari Jepang tapi bertampang bule seperti kamu, Yoshino-Kun.”
Yoshino-kun. Sudah lama aku tak dipanggil dengan sebutan Jepang itu.
“Bagaimana kalau kamu aku ajak makan di luar? Shena-Can.” Kataku nyengir.
Tak perlu menunggu lama, dia langsung menganggukkan kepalanya. “Sekalian. Ada yang perlu aku bicarakan.”
***
Menanyakan kabarku?
Hhh.. Hal mustahil. Dia tak mungkin menanyakan kabarku, dia tak mungkin memikirkanku apalagi mengharapkan aku kembali ke rumah bersamanya. Malah kalau bisa, aku tidak usah pulang saja. Ayahku… Kurasa sekarang ini dia membenciku. Sangat…
Aku tertawa kecut mendengar perkataan Shena yang kuragukan kebenarannya, “Selera humormu tinggi juga ya,” kilahku sembari menenggak secangkir vanilla latte yang kupesan.
Tegas. Shena menggeleng, “Aku tidak bercanda, Yoshi. Aku serius. Ayahmu sangat merindukanmu. Sangat, Yoshi.. Setiap hari dia duduk di teras rumah, menunggumu kalau-kalau kamu datang ke rumah dengan wajah murung. Setiap hari, Yoshi.. Setiap hari..”
Shena menekan beberapa kata yang membuat hatiku memberontak. Menolak. “Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Seharusnya, dia tahu bahwa aku tak akan pulang ke rumah.”
Jari-jari Shena menggenggam erat pegangan cangkir teh yang sedari tadi belum juga ia minum. Kepalanya menunduk dalam. Dia menggigit bibirnya sendiri. Tak beberapa lama kemudian, dia terisak kecil. “Tentu saja dia melakukan itu! Karena.. Karena kamu adalah ‘sesuatu’ yang harus dia lindungi, ‘sesuatu’ yang harus dia jaga, ‘sesuatu’ yang sangat ia cintai.”
Kedua mataku membelalak kaget. Tertegun. Rahangku mengeras, tak tahu harus berkata apa lagi.
“Pulanglah.. Ayahmu masih menuunggumu sampai sekarang ini. Detik ini. Dia pasti akan sangat senang kalau kamu datang ke rumah. Sekali saja untuk Natal ini.” Shena melanjutkan perkataannya lagi. Kali ini, aku bisa melihat air mata membasahi kedua pipinya. Aku menarik napas panjang. Mengapa Shena ingin sekali aku pulang ke rumah?
Aku memijit dahiku dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Baiklah, aku akan pulang.” Putusku pada akhirnya dengan terpaksa.
Shena berhenti menangis. Dia menatapku lekat-lekat. “Benarkah?”
Aku mengangguk malas. Dia tersenyum tipis dengan air mata yang masih basah. “Arigatou gonzaimasu, Takayoshi-kun..”
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. Kemudian, Shena bangkit berdiri dan berpamitan padaku. “Sudah jam 12 siang. Aku harus pergi ke bandara sekarang. Terima kasih sekali lagi kamu sudah mau mendengarkanku.”
“E-eh, perlu aku antar?” kataku menawarkan diri.
Shena menggeleng, “Tidak. Terima kasih. Sampai jumpa, Takayoshi-kun. Aku menunggumu di Jepang.”
Kemudian, aku melihat tubuh mungilnya pergi melewatiku dan menghentikan taksi di depan. Memberikanku lambaian tangan lalu pergi.
Sementara aku. Aku tidak langsung beranjak dari tempat duduk. Sejenak, aku mencerna semua perkataan Shena. Ternyata, penyakit kesotoyan-nya itu belum hilang sejak dulu. Dari kecil, ia memang selalu memberitahukanku tentang hal-hal baik yang ayah pikirkan tentangku. Namun, aku selalu menyangkalnya dan tertawa kecil. It’s just in your imagination, my best friend. Just only in your imagination.
Bagaimana bisa aku mempercayainya jika setiap aku pulang ke rumah, kesunyianlah yang pertama kali menyambutku. Tidak ada kata-kata sambutan yang manis seperti yang biasanya orangtua katakan pada anaknya setiap pulang ke rumah. Aku selalu menerima penghargaan tanpa ucapan selamat atau apapun dari ayah. Ayah sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, aku merasa tidak dihargai lagi olehnya bahkan aku sempat meragukan statusku sebagai anak kandungnya. Tahun demi tahun kucoba untuk bertahan. Melalui semua itu bersama ayah. Akan tetapi, beliau tak kunjung berubah. Malah, aku semakin merasa kesepian.
Hingga akhirnya, pada kelas 2 SMA, aku memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Menabung uang supaya bisa kujadikan biaya hidup ketika aku pergi dari rumah ayah nanti dan mewujudkan apa yang aku cita-citakan. Sampai akhhirnya, aku menemukannya.. di sini.. di kota Paris. Setelahnya, aku tak pernah pulang dan memang aku tak pernah berencana untuk pulang ke rumah. Aku benci dia…
Hhh.. Hal mustahil. Dia tak mungkin menanyakan kabarku, dia tak mungkin memikirkanku apalagi mengharapkan aku kembali ke rumah bersamanya. Malah kalau bisa, aku tidak usah pulang saja. Ayahku… Kurasa sekarang ini dia membenciku. Sangat…
Aku tertawa kecut mendengar perkataan Shena yang kuragukan kebenarannya, “Selera humormu tinggi juga ya,” kilahku sembari menenggak secangkir vanilla latte yang kupesan.
Tegas. Shena menggeleng, “Aku tidak bercanda, Yoshi. Aku serius. Ayahmu sangat merindukanmu. Sangat, Yoshi.. Setiap hari dia duduk di teras rumah, menunggumu kalau-kalau kamu datang ke rumah dengan wajah murung. Setiap hari, Yoshi.. Setiap hari..”
Shena menekan beberapa kata yang membuat hatiku memberontak. Menolak. “Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Seharusnya, dia tahu bahwa aku tak akan pulang ke rumah.”
Jari-jari Shena menggenggam erat pegangan cangkir teh yang sedari tadi belum juga ia minum. Kepalanya menunduk dalam. Dia menggigit bibirnya sendiri. Tak beberapa lama kemudian, dia terisak kecil. “Tentu saja dia melakukan itu! Karena.. Karena kamu adalah ‘sesuatu’ yang harus dia lindungi, ‘sesuatu’ yang harus dia jaga, ‘sesuatu’ yang sangat ia cintai.”
Kedua mataku membelalak kaget. Tertegun. Rahangku mengeras, tak tahu harus berkata apa lagi.
“Pulanglah.. Ayahmu masih menuunggumu sampai sekarang ini. Detik ini. Dia pasti akan sangat senang kalau kamu datang ke rumah. Sekali saja untuk Natal ini.” Shena melanjutkan perkataannya lagi. Kali ini, aku bisa melihat air mata membasahi kedua pipinya. Aku menarik napas panjang. Mengapa Shena ingin sekali aku pulang ke rumah?
Aku memijit dahiku dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Baiklah, aku akan pulang.” Putusku pada akhirnya dengan terpaksa.
Shena berhenti menangis. Dia menatapku lekat-lekat. “Benarkah?”
Aku mengangguk malas. Dia tersenyum tipis dengan air mata yang masih basah. “Arigatou gonzaimasu, Takayoshi-kun..”
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. Kemudian, Shena bangkit berdiri dan berpamitan padaku. “Sudah jam 12 siang. Aku harus pergi ke bandara sekarang. Terima kasih sekali lagi kamu sudah mau mendengarkanku.”
“E-eh, perlu aku antar?” kataku menawarkan diri.
Shena menggeleng, “Tidak. Terima kasih. Sampai jumpa, Takayoshi-kun. Aku menunggumu di Jepang.”
Kemudian, aku melihat tubuh mungilnya pergi melewatiku dan menghentikan taksi di depan. Memberikanku lambaian tangan lalu pergi.
Sementara aku. Aku tidak langsung beranjak dari tempat duduk. Sejenak, aku mencerna semua perkataan Shena. Ternyata, penyakit kesotoyan-nya itu belum hilang sejak dulu. Dari kecil, ia memang selalu memberitahukanku tentang hal-hal baik yang ayah pikirkan tentangku. Namun, aku selalu menyangkalnya dan tertawa kecil. It’s just in your imagination, my best friend. Just only in your imagination.
Bagaimana bisa aku mempercayainya jika setiap aku pulang ke rumah, kesunyianlah yang pertama kali menyambutku. Tidak ada kata-kata sambutan yang manis seperti yang biasanya orangtua katakan pada anaknya setiap pulang ke rumah. Aku selalu menerima penghargaan tanpa ucapan selamat atau apapun dari ayah. Ayah sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, aku merasa tidak dihargai lagi olehnya bahkan aku sempat meragukan statusku sebagai anak kandungnya. Tahun demi tahun kucoba untuk bertahan. Melalui semua itu bersama ayah. Akan tetapi, beliau tak kunjung berubah. Malah, aku semakin merasa kesepian.
Hingga akhirnya, pada kelas 2 SMA, aku memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Menabung uang supaya bisa kujadikan biaya hidup ketika aku pergi dari rumah ayah nanti dan mewujudkan apa yang aku cita-citakan. Sampai akhhirnya, aku menemukannya.. di sini.. di kota Paris. Setelahnya, aku tak pernah pulang dan memang aku tak pernah berencana untuk pulang ke rumah. Aku benci dia…
***
Aku tak percaya. Aku benar-benar melakukan ini. Hal yang dulunya tak pernah sedikit pun terbesit di benakku.
25 Desember. Aku kembali ke Jepang…
Keluar dari bandara dan melihat keadaan kota Tokyo. Sungguh, 7 tahun aku di Paris, kota ini telah melakukan banyak perubahan. Membuatku yang selama 18 tahun telah dibesarkan di Jepang ini merasa asing di tanah kelahirannya sendiri. Kuhirup udara dalam-dalam. Ah.. Bau ini.. Bau yang sudah lama tak kuhirup.
Akan tetapi, tujuanku ke sini bukan untuk memperhatikan antara persamaan dan perbedaannya keadaan Jepang yang dulu dengan yang sekarang. Aku kembali untuk Shena. Ya, untuk Shena bukan untuk ayah. Aku berdiri mematung di pinggir jalan raya, menunggu taksi kosong yang bisa kutumpangi. Sampai akhirnya, aku menemui seorang nenek sedang berjalan menghampiriku. Memakai kimono yang warnanya sudah memudar, beliau tersenyum menyapaku.
“Anata wa machigainaku Takayoshi-kun. Hisashiburi.” Sapanya begitu kami sudah berdekatan. Beliau menunduk dan aku pun mau tidak mau ikut menunduk memberinya hormat. Ah, sudah lama aku tak melakukan norma kesopanan ala Jepang seperti ini.
“Anata dare?” tanyaku bingung dengan alis yang mengkerut. Untung saja, 7 tahun di Paris tidak membuatku lupa dengan bahasa Ibu.
“Hahaha.. Doyara, anata wa mada Nihon no moto o hanasu koto ga dekiru? Watashi no namae, Furuno Fuko. Watashi wa anata no chichi, Furuno Yoshino no hahadesu.”
25 Desember. Aku kembali ke Jepang…
Keluar dari bandara dan melihat keadaan kota Tokyo. Sungguh, 7 tahun aku di Paris, kota ini telah melakukan banyak perubahan. Membuatku yang selama 18 tahun telah dibesarkan di Jepang ini merasa asing di tanah kelahirannya sendiri. Kuhirup udara dalam-dalam. Ah.. Bau ini.. Bau yang sudah lama tak kuhirup.
Akan tetapi, tujuanku ke sini bukan untuk memperhatikan antara persamaan dan perbedaannya keadaan Jepang yang dulu dengan yang sekarang. Aku kembali untuk Shena. Ya, untuk Shena bukan untuk ayah. Aku berdiri mematung di pinggir jalan raya, menunggu taksi kosong yang bisa kutumpangi. Sampai akhirnya, aku menemui seorang nenek sedang berjalan menghampiriku. Memakai kimono yang warnanya sudah memudar, beliau tersenyum menyapaku.
“Anata wa machigainaku Takayoshi-kun. Hisashiburi.” Sapanya begitu kami sudah berdekatan. Beliau menunduk dan aku pun mau tidak mau ikut menunduk memberinya hormat. Ah, sudah lama aku tak melakukan norma kesopanan ala Jepang seperti ini.
“Anata dare?” tanyaku bingung dengan alis yang mengkerut. Untung saja, 7 tahun di Paris tidak membuatku lupa dengan bahasa Ibu.
“Hahaha.. Doyara, anata wa mada Nihon no moto o hanasu koto ga dekiru? Watashi no namae, Furuno Fuko. Watashi wa anata no chichi, Furuno Yoshino no hahadesu.”
***
Aku turun dari taksi bersama dengan nenekku, Furuno Fuko. Aku tak
mengerti kenapa beliau membawaku kesini dan bukan langsung ke rumah.
Mengekori nenek dengan langkah yang loyo. Tak bersemangat. Kami sekarang
berada di Jepang bagian utara. Udara sangat dingin. Musim salju. Aku
berjalan sembari melihat lingkungan di sekitarku. Tunggu dulu! Aku
merasa familiar dengan ini. Tapi, apa pernah dulu aku kesini?
Nenek menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Tatapannya memandang ke arah padang bunga yang telah diselimuti oleh salju di samping kami. “Sayang bunganya tertutup salju. Padahal, bunga-bunga itu sangat indah. Kamu juga sewaktu kecil senang bermain disini loh…”
Aku tersentak. Itu artinya aku memang pernah kesini. Tapi, kapan? Sementara aku masih bertanya-tanya, nenek mengajakku duduk di sebuah pondok kecil, di tepi padang bunga. Mau tak mau aku mengikutinya. Sejenak nenek tersenyum, masih dengan kedua mata yang memandang padang bunga itu. “Pertama kali kamu kesini ketika musim panas. Ingat?”
Tiba-tiba, sebersit bayangan pun muncul di dalam otakku. Aku seperti melihat padang bunga itu sewaktu musim panas, indah dengan bunganya yang berayun-ayun tertiup angin, disana aku tertawa lepas. Sangat bahagia. Berlari kesana dan kemari tanpa menghiraukan rumput panjangnya yang bisa saja menyembunyikan hewan reptil mengerikan. Entahlah… Aku tak tahu kenapa aku bisa berani seperti itu. Mengingatnya aku jadi tersenyum sendiri.
“Tepatnya, setelah ibumu meninggal.” Lanjut Nenek. Membuat senyumanku memudar begitu saja. “Tapi, nenek salut sama kamu. Kamu masih ceria seperti biasa, tegar. Buktinya kamu masih bisa bermain disini dengan tertawa lepas.” Puji nenek dengan menyunggingkan senyum dan menepuk pundakku sesaat.
Benar juga. Pada saat ibu meninggal, aku hanya menangis pada hari itu. Namun, setelahnya, aku kembali ceria, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Takayoshi-san…” panggil nenek.
“Ya?”
Nenek menghela napas sejenak, “Apakah kamu pikir ayahmu itu buruk?”
Mengingat semua yang telah ayah lakukan untukku. Mengacuhkanku, selalu sibuk dengan dunianya sendiri tentu saja tanpa berpikir panjang aku menjawabnya, “Ya..”
Lagi, nenek menghela napasnya. Kali ini lebih panjang. “Setelah kematian ibumu, ayahmu menjadi putus asa karena kehilangan salah satu orang yang paling dia cintai. Akan tetapi, dia tidak bisa terus putus asa sebab dia tahu bahwa ada satu orang lagi yang paling dia cintai masih bersama dengannya, membutuhkan kasih sayang orangtua, dan membutuhkan bimbingan untuk bisa menjadi pria sejati. Orang itu adalah… kamu.”
Aku tersentak kaget dengan kedua mata yang membulat lebar. Aku ingin mengelak perkataan nenek namun rasanya rahangku menjadi kaku, sulit untuk digerakkan. Entah kenapa, hatiku rasanya seperti mengatakan suatu pembenaran.
“Pada hari itu, ayahmu berjanji pada nenek akan membuatmu menjadi pria yang kuat, yang ceria juga sehat dan supaya kamu bisa meraih semua cita-citamu. Dan, sejak itulah, ayahmu berjuang paling keras seumur hidupnya. Dia keluar dari pekerjaannya yang bergaji besar untuk mencari pekerjaan lain yang memiliki banyak waktu luang. Agar dia bisa menjagamu, menemanimu. Dia selalu membelikanmu mainan dan makanan dengan uangnya yang sedikit dan menabung sisa uang yang dia miliki untuk pendidikanmu. Sedangkan ayahmu? Dia hanya makan setelah kamu makan sampai kenyang.” Cerita nenek.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Kenangan-kenangan masa kecilku dulu bersama ayah seperti berputar kembali. Mainan, jajan, cinta, kebahagiaan, tawa.. kenapa aku bisa melupakan semua itu?
“Dia paling suka natal. Karena hari Natal adalah hari dimana Yoshino bisa bersama denganmu seharian. Mengajakmu berjalan-jalan, piknik… Yoshino senang bisa membuatmu bahagia. Namun, lambat laun kondisi seperti itu juga membuat Yoshino sangat kelelahan sehingga Yoshino lari ke alkohol. Hingga akhirnya, ketika kau bertumbuh dewasa, kabarnya di antara kau dan Yoshino tercipta sebuah jarak. Kalian tak lagi bisa bersama terus-menerus seperti dulu. Kau terlihat enggan berbicara lagi dengan Yoshino sehingga Yoshino pun memilih untuk diam karena takut mengganggumu. Meskipun begitu, dia tetap memperhatikan keadaanmu. Mencintaimu walau hanya dalam diam. Dia senang bisa melihatmu tumbuh semakin dewasa, semakin tampan dan semakin pintar. Kau tahu? Dia selalu membanggakanmu dengan para tetangga, pada nenek.”
Aku masih diam. Tak sanggup berkata-kata lagi sementara nenek masih bercerita panjang lebar, otakku terus saja memutar bayangan ayah yang menyanyangiku dengan tulus, mencintaiku dengan sepenuh hati. Jadi.. Jadi itulah alasannya kenapa tetanggaku bisa tahu prestasiku, memberiku ucapan selamat dan pujian padahal aku tak pernah menceritakannya pada mereka. Karena… Karena ayah. Karena ayah yang menceritakannya pada mereka. Dengan sorot mata yang penuh dengan kebanggaan, kebahagiaan. Aku.. Aku telah salah menilainya.
“Sampai akhirnya, ketika kau pergi meninggalkan rumah. Hari-hari Yoshino dipenuhi dengan kesedihan, rasa kesepian, kehilangan. Dia menunggumu… Dia menunggu berita tentang kesuksesanmu. Dia percaya kamu akan pulang.”
Air mata yang sedari tadi sudah mengalir menjadi bertambah deras. Aku menjambak rambutku kuat-kuat. Cukup! Cukup… Semakin banyak kenangan-kenangan hitam putih yang muncul dalam pikiranku, semakin terasa menyakitkan. Menyesakkan.
Sekarang, tanpa diberi tahu, aku sudah tahu sendiri jawabannya atas pertanyaanku yang tadi. Mengenai kenapa aku berani berlarian di tengah rumput yang tinggi tanpa takut ada hewan yang bisa melukaiku atau kenapa aku begitu kuat menerima kepergian ibu.
Itu semua karena aku masih memiliki ayah. Ayah yang tidak pernah membiarkanku terluka. Ayah yang selalu berusaha membuatku kuat, tegar dan bisa kembali ceria seperti sedia kala walaupun ayah sendiri sedang putus asa, sedih, kecewa, lelah, namun dia tak pernah membiarkanku melihat itu semua darinya. Tak akan pernah…
“Dan, sekarang, apakah menurutmu Yoshino adalah ayah yang buruk?”
Kali ini, aku tidak punya alasan lain. Jawaban lain selain dengan menggelengkan kepala. Tidak.. Ayah terlalu baik. Aku telah menjadi anak yang sangat buruk untuknya.
Tak beberapa lama kemudian, nenek pun ikut terisak. Beliau menepuk pundakku dan lalu berkata, “Takayoshi-san, terima kasih.. Terima kasih.. Setidaknya, kau telah membuat ayahmu bahagia mendengarnya.”
DHEG!
Ayah? Jadi, ayah ada disini? Dimana dia sekarang?
“Takayoshi-san..” panggil nenek sekali lagi.
“Apa?”
“Ayahmu.. sudah meninggal sebulan yang lalu.”
Nenek menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Tatapannya memandang ke arah padang bunga yang telah diselimuti oleh salju di samping kami. “Sayang bunganya tertutup salju. Padahal, bunga-bunga itu sangat indah. Kamu juga sewaktu kecil senang bermain disini loh…”
Aku tersentak. Itu artinya aku memang pernah kesini. Tapi, kapan? Sementara aku masih bertanya-tanya, nenek mengajakku duduk di sebuah pondok kecil, di tepi padang bunga. Mau tak mau aku mengikutinya. Sejenak nenek tersenyum, masih dengan kedua mata yang memandang padang bunga itu. “Pertama kali kamu kesini ketika musim panas. Ingat?”
Tiba-tiba, sebersit bayangan pun muncul di dalam otakku. Aku seperti melihat padang bunga itu sewaktu musim panas, indah dengan bunganya yang berayun-ayun tertiup angin, disana aku tertawa lepas. Sangat bahagia. Berlari kesana dan kemari tanpa menghiraukan rumput panjangnya yang bisa saja menyembunyikan hewan reptil mengerikan. Entahlah… Aku tak tahu kenapa aku bisa berani seperti itu. Mengingatnya aku jadi tersenyum sendiri.
“Tepatnya, setelah ibumu meninggal.” Lanjut Nenek. Membuat senyumanku memudar begitu saja. “Tapi, nenek salut sama kamu. Kamu masih ceria seperti biasa, tegar. Buktinya kamu masih bisa bermain disini dengan tertawa lepas.” Puji nenek dengan menyunggingkan senyum dan menepuk pundakku sesaat.
Benar juga. Pada saat ibu meninggal, aku hanya menangis pada hari itu. Namun, setelahnya, aku kembali ceria, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Takayoshi-san…” panggil nenek.
“Ya?”
Nenek menghela napas sejenak, “Apakah kamu pikir ayahmu itu buruk?”
Mengingat semua yang telah ayah lakukan untukku. Mengacuhkanku, selalu sibuk dengan dunianya sendiri tentu saja tanpa berpikir panjang aku menjawabnya, “Ya..”
Lagi, nenek menghela napasnya. Kali ini lebih panjang. “Setelah kematian ibumu, ayahmu menjadi putus asa karena kehilangan salah satu orang yang paling dia cintai. Akan tetapi, dia tidak bisa terus putus asa sebab dia tahu bahwa ada satu orang lagi yang paling dia cintai masih bersama dengannya, membutuhkan kasih sayang orangtua, dan membutuhkan bimbingan untuk bisa menjadi pria sejati. Orang itu adalah… kamu.”
Aku tersentak kaget dengan kedua mata yang membulat lebar. Aku ingin mengelak perkataan nenek namun rasanya rahangku menjadi kaku, sulit untuk digerakkan. Entah kenapa, hatiku rasanya seperti mengatakan suatu pembenaran.
“Pada hari itu, ayahmu berjanji pada nenek akan membuatmu menjadi pria yang kuat, yang ceria juga sehat dan supaya kamu bisa meraih semua cita-citamu. Dan, sejak itulah, ayahmu berjuang paling keras seumur hidupnya. Dia keluar dari pekerjaannya yang bergaji besar untuk mencari pekerjaan lain yang memiliki banyak waktu luang. Agar dia bisa menjagamu, menemanimu. Dia selalu membelikanmu mainan dan makanan dengan uangnya yang sedikit dan menabung sisa uang yang dia miliki untuk pendidikanmu. Sedangkan ayahmu? Dia hanya makan setelah kamu makan sampai kenyang.” Cerita nenek.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Kenangan-kenangan masa kecilku dulu bersama ayah seperti berputar kembali. Mainan, jajan, cinta, kebahagiaan, tawa.. kenapa aku bisa melupakan semua itu?
“Dia paling suka natal. Karena hari Natal adalah hari dimana Yoshino bisa bersama denganmu seharian. Mengajakmu berjalan-jalan, piknik… Yoshino senang bisa membuatmu bahagia. Namun, lambat laun kondisi seperti itu juga membuat Yoshino sangat kelelahan sehingga Yoshino lari ke alkohol. Hingga akhirnya, ketika kau bertumbuh dewasa, kabarnya di antara kau dan Yoshino tercipta sebuah jarak. Kalian tak lagi bisa bersama terus-menerus seperti dulu. Kau terlihat enggan berbicara lagi dengan Yoshino sehingga Yoshino pun memilih untuk diam karena takut mengganggumu. Meskipun begitu, dia tetap memperhatikan keadaanmu. Mencintaimu walau hanya dalam diam. Dia senang bisa melihatmu tumbuh semakin dewasa, semakin tampan dan semakin pintar. Kau tahu? Dia selalu membanggakanmu dengan para tetangga, pada nenek.”
Aku masih diam. Tak sanggup berkata-kata lagi sementara nenek masih bercerita panjang lebar, otakku terus saja memutar bayangan ayah yang menyanyangiku dengan tulus, mencintaiku dengan sepenuh hati. Jadi.. Jadi itulah alasannya kenapa tetanggaku bisa tahu prestasiku, memberiku ucapan selamat dan pujian padahal aku tak pernah menceritakannya pada mereka. Karena… Karena ayah. Karena ayah yang menceritakannya pada mereka. Dengan sorot mata yang penuh dengan kebanggaan, kebahagiaan. Aku.. Aku telah salah menilainya.
“Sampai akhirnya, ketika kau pergi meninggalkan rumah. Hari-hari Yoshino dipenuhi dengan kesedihan, rasa kesepian, kehilangan. Dia menunggumu… Dia menunggu berita tentang kesuksesanmu. Dia percaya kamu akan pulang.”
Air mata yang sedari tadi sudah mengalir menjadi bertambah deras. Aku menjambak rambutku kuat-kuat. Cukup! Cukup… Semakin banyak kenangan-kenangan hitam putih yang muncul dalam pikiranku, semakin terasa menyakitkan. Menyesakkan.
Sekarang, tanpa diberi tahu, aku sudah tahu sendiri jawabannya atas pertanyaanku yang tadi. Mengenai kenapa aku berani berlarian di tengah rumput yang tinggi tanpa takut ada hewan yang bisa melukaiku atau kenapa aku begitu kuat menerima kepergian ibu.
Itu semua karena aku masih memiliki ayah. Ayah yang tidak pernah membiarkanku terluka. Ayah yang selalu berusaha membuatku kuat, tegar dan bisa kembali ceria seperti sedia kala walaupun ayah sendiri sedang putus asa, sedih, kecewa, lelah, namun dia tak pernah membiarkanku melihat itu semua darinya. Tak akan pernah…
“Dan, sekarang, apakah menurutmu Yoshino adalah ayah yang buruk?”
Kali ini, aku tidak punya alasan lain. Jawaban lain selain dengan menggelengkan kepala. Tidak.. Ayah terlalu baik. Aku telah menjadi anak yang sangat buruk untuknya.
Tak beberapa lama kemudian, nenek pun ikut terisak. Beliau menepuk pundakku dan lalu berkata, “Takayoshi-san, terima kasih.. Terima kasih.. Setidaknya, kau telah membuat ayahmu bahagia mendengarnya.”
DHEG!
Ayah? Jadi, ayah ada disini? Dimana dia sekarang?
“Takayoshi-san..” panggil nenek sekali lagi.
“Apa?”
“Ayahmu.. sudah meninggal sebulan yang lalu.”
***
Aku bangkit berdiri di depan dupa ayah sebagai penghormatanku kepada
ayah. Disini, di ruangan yang sudah aku dan nenek dekorasi menjadi
ruangan penuh nuansa natal Ada rasa penyesalan teramat dalam juga
kesedihan yang tak kalah mendera. Tepat di hari Natal ini, aku mengingat
kembali akan semua yang telah ayah lakukan untukku. Semuanya..
Kalau boleh, aku ingin menangis keras. Namun… Aku tak ingin membuat ayahku bersedih. Jika sewaktu ibu pergi ayah tak mau melihatku menangis apalagi sekarang? Aku berusaha sekuat mungkin agar air mata itu tak terjatuh.
“Merry Christmas, Ayah..” ujarku lirih.
Selesai berdoa, nenek berdiri dan melemparkan tatapannya ke arahku seraya berkata, “Ayo, Takayoshi. Ikuti nenek sebentar. Nenek ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Tanpa berbasa-basi lagi, aku menganggukkan kepala dan membuntutinya. Ternyata nenek ingin membawaku ke kamar ayah. Dibukanya pintu lemari ayah perlahan-lahan sampai terlihat beberapa tumpukan kado disana. Aku membelalak kaget. Untuk siapa semua itu?
“Takayoshi, selamat hari natal. Ini semua hadiah untukmu dari Yoshino yang telah ia kumpulkan selama 7 tahun. Setiap hari natal, ia membuatkannya untukmu.”
Kemudian, nenek meninggalkanku sendirian di kamar ayah. Kedua mataku memandang tumpukan kado itu. Di setiap kado itu terdapat greeting card bertuliskan, “Merry Christmas, Yoshino.”
Perlahan-lahan, aku membuka semua kado tersebut dan terkejut ketika tahu bahwa isinya adalah barang-barang yang pernah kuminta dulu pada ayah namun belum bisa ia turuti pada saat itu. Tak kusangka, ternyata, ayah masih mengingatnya dan ia mewujudkannya sekarang dengan gajinya yang sedikit. Semua kado itu dibungkus dengan sangat rapi menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hati ayah pada saat memberikan hadiah itu untukku.
Ayah… Aku.. Aku ijin menangis. Sebentar saja.. Untuk terakhir kali.
Tetes demi tetes air mata yang tadi sudah mengering menjadi basah kembali. Semalaman itu aku menangis. Menangis di kamar ayah.
Kalau boleh, aku ingin menangis keras. Namun… Aku tak ingin membuat ayahku bersedih. Jika sewaktu ibu pergi ayah tak mau melihatku menangis apalagi sekarang? Aku berusaha sekuat mungkin agar air mata itu tak terjatuh.
“Merry Christmas, Ayah..” ujarku lirih.
Selesai berdoa, nenek berdiri dan melemparkan tatapannya ke arahku seraya berkata, “Ayo, Takayoshi. Ikuti nenek sebentar. Nenek ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Tanpa berbasa-basi lagi, aku menganggukkan kepala dan membuntutinya. Ternyata nenek ingin membawaku ke kamar ayah. Dibukanya pintu lemari ayah perlahan-lahan sampai terlihat beberapa tumpukan kado disana. Aku membelalak kaget. Untuk siapa semua itu?
“Takayoshi, selamat hari natal. Ini semua hadiah untukmu dari Yoshino yang telah ia kumpulkan selama 7 tahun. Setiap hari natal, ia membuatkannya untukmu.”
Kemudian, nenek meninggalkanku sendirian di kamar ayah. Kedua mataku memandang tumpukan kado itu. Di setiap kado itu terdapat greeting card bertuliskan, “Merry Christmas, Yoshino.”
Perlahan-lahan, aku membuka semua kado tersebut dan terkejut ketika tahu bahwa isinya adalah barang-barang yang pernah kuminta dulu pada ayah namun belum bisa ia turuti pada saat itu. Tak kusangka, ternyata, ayah masih mengingatnya dan ia mewujudkannya sekarang dengan gajinya yang sedikit. Semua kado itu dibungkus dengan sangat rapi menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hati ayah pada saat memberikan hadiah itu untukku.
Ayah… Aku.. Aku ijin menangis. Sebentar saja.. Untuk terakhir kali.
Tetes demi tetes air mata yang tadi sudah mengering menjadi basah kembali. Semalaman itu aku menangis. Menangis di kamar ayah.
Ayah… Beristirahatlah dengan tenang. Dengan bahagia. Sudah cukup kau
merawat anak kurang ajar seperti aku ini. Sudah cukup, Ayah.. Sudah
cukup..
***
“Maafkan ayah, ya… Ayah sering meninggalkanmu sendirian di rumah. Kau pasti kesepian. Maafkan ayah ya…”
Tubuh mungil anak itu hanya diam tak bergeming. Muka imutnya dia hadapkan, menatap wajah ayahnya yang menunduk.
“Ayah punya jajanan. Nanti, kalau lapar dimakan aja. Tapi jangan banyak-banyak. Nanti sakit perut.”
Dia masih tidak bergeming. Diam. Menatap ayahnya dalam-dalam.
“Ayah janji. Ayah akan pulang secepatnya. Nanti ayah akan masak buat makan malam nanti. Kita makan bersama-sama ya… Oke?”
Beliau pun mengulurkan tangannya, mengusap rambut anak itu dan meninggalkan anak itu di rumah sendirian. Dia tidak akan pergi lama-lama. Karena dia tahu ada seseorang yang paling berharga sedang menunggunya di rumah. Dia tidak akan membiarkan seseorang itu sendirian. Kesepian..
Jangan sedih. Ayah pergi sebentar. Nanti, kita akan bersama-sama lagi.
Tubuh mungil anak itu hanya diam tak bergeming. Muka imutnya dia hadapkan, menatap wajah ayahnya yang menunduk.
“Ayah punya jajanan. Nanti, kalau lapar dimakan aja. Tapi jangan banyak-banyak. Nanti sakit perut.”
Dia masih tidak bergeming. Diam. Menatap ayahnya dalam-dalam.
“Ayah janji. Ayah akan pulang secepatnya. Nanti ayah akan masak buat makan malam nanti. Kita makan bersama-sama ya… Oke?”
Beliau pun mengulurkan tangannya, mengusap rambut anak itu dan meninggalkan anak itu di rumah sendirian. Dia tidak akan pergi lama-lama. Karena dia tahu ada seseorang yang paling berharga sedang menunggunya di rumah. Dia tidak akan membiarkan seseorang itu sendirian. Kesepian..
Jangan sedih. Ayah pergi sebentar. Nanti, kita akan bersama-sama lagi.
Aku ingin berlari ke luar halaman agar gerimis itu bisa bersanding dengan gerimis air mataku. Tapi, aku mencoba membendung semuanya. Aku tak mau laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku melihatnya. Aku takut dia berpikir aku masih mengharapkannya, walaupun kenyataannya aku memang masih mengharapkannya.
“Dir, kita tidak bisa terus-menerus seperti ini.” ucap Asta. Laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku.
“Lalu kamu mau hubungan ini berakhir?” aku menoleh ke arahnya. Dia hanya terdiam. Kubuang lagi pandanganku dari wajahnya.
Gerimis masih menari bersama irama angin. Hanya suara jatuhnya bulir-bulir air yang menjadi pengiring saat kami hanya terdiam. Aku masih mencoba menenangkan diri dan pikiran yang mungkin sudah sedikit berantakan. Tidak mungkin menyelesaikan masalah saat hati dan pikiran sedang kacau.
“Ta, kalau kamu memang ingin kita berakhir. Oke. Aku tidak masalah. Aku juga tidak bisa terus-terusan kamu buat seperti ini.” suaraku memecah keheningan. “Percuma aku datang kesini untuk menjenguk kamu. Alasanmu sakit tapi ternyata kamu memberiku kejutan dengan sebuah pertujukan yang-”
“Dira, cukup!” Asta memotong pembicaraanku.
Seketika bayangan itu datang lagi. Bayang-bayang sebuah pertunjukan yang mampu membuat hatiku seperti tersayat lalu menyisakan luka yang menganga. Pertunjukan memuakkan kala ia sedang mesra merangkul seorang wanita. Dengan lebih mesra lagi dia mendaratkan ciuman di kening wanita itu. Mesra, bukan? Aku sudah terlalu sering menyaksikan Asta bersama wanita (lebih tepatnya mesra bersama wanita). Tapi, untuk kali ini sudah terlalu berlebihan. Terlalu menyakitkan. Terlalu membuat patah hatiku.
Aku bisa saja dari dulu meninggalkan Asta ketika dia pernah menyakitiku. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih mencintai Asta dan aku masih ingin bersama dia. Mungkin aku sudah terlalu mencintai Asta, hingga sudah berapa kali dia menyakitiku, aku masih tetap bertahan dengannya. Semakin dia menyakitiku, semakin aku tak bisa melepasnya. Tak mudah meninggalkan begitu saja orang yang kita cintai, meskipun dia sering menyakiti kita. Karena satu alasan: cinta.
Dewasta Deriandri. Dia laki-laki yang mengajariku mengenal cinta serta segala tetek bengeknya. Dari dirinya pula aku mengenal apa itu sakit hati, apa itu patah hati. Asta adalah cinta pertamaku. Kami bertahan sejak duduk di bangku SMA, hingga akan menjadi seorang mahasiswi. Mungkin itu yang membuat aku sulit melepasnya meski telah sering aku disakitinya.
“Dir, a-aku minta maaf…” ucap Asta ragu. Aku menoleh ke arahnya. Kulihat dia menunduk dan seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. “Aku pikir… lebih baik kita putus.” lanjutnya.
Putus? Secepat itu dia mengatakan putus. Aku masih seperti tidak percaya saat itu. Aku mengira itu hanya sebuah mimpi buruk karena aku lupa membaca doa sebelum tidur. Tapi, saat itu bukan mimpi. Aku yakin sekali itu bukan mimpi karena seketika kata itu keluar dari mulut Asta, hatiku langsung perih.
Sejujurnya aku tidak bisa menerima kata itu harus terucap. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan kalau aku harus mengakhiri hubungan dengannya. Aku menyadari bahwa aku sudah terlalu sering disakitinya dan memang sudah seharusnya aku pergi. Tapi kalau aku masih belum bisa?
Tapi, tidak mungkin juga aku memintanya menarik kata-katanya lagi.
“Aku masih sayang kamu, Dir. Tapi, sepertinya kita-”
Sebelum Asta menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyambar tasku. Aku berlari ke luar halaman menembus gerimis sore itu. Saat itu hatiku benar-benar hancur. Tidak pernah terbayang sama sekali bahwa pada hari itu akan menjadi hari terakhirku bersama Asta. Cinta yang telah kita pelihara selama tiga tahun itu pun harus berakhir pula. Tak ada pilihan lagi bagiku selain harus segera beranjak pergi meninggalkannya. Aku harus segera menjauh darinya walau aku tahu itu akan sangat sulit kulakukan. Tapi, tak mungkin aku memohon padanya agar kembali menarik ucapannya itu.
Cinta membuatku harus tersakiti lagi. Padahal, aku pikir cinta akan memberiku kebahagiaan. Bukankah cinta itu anugerah dari Tuhan? Mengapa harus ada sesuatu yang menyakitkan sebuah anugerah Tuhan? Kini, cinta membuatku takut untuk mencintai lagi.
Air mataku sudah tertumpah bersama jatuhnya kawanan air yang membasahiku.
—
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Dir, sudah cukup Asta menyakitimu. Kau perlu mengasihi dirimu sendiri, Dir.” Rai menasihatiku setelah aku menceritakan tentang kejadian saat gerimis kala itu. Sudah berulangkali dia mencoba meyakinkanku untuk pergi dari kehidupan Asta. Tapi, dia tidak cukup bisa untuk meruntuhkan dinding asmara yang kubangun untuk Asta.
“Tapi aku masih menyayanginya, Rai. Kamu tahu kan?”
Aku masih menyayanginya. Aku masih tidak bisa melepaskan Asta untuk pindah ke pelukan orang lain. Mata dan hatiku juga belum cukup kuat jika harus melihatnya bergandeng mesra dengan wanita lain. Aku tidak bisa melihat itu semua. Cinta sudah terlalu jauh membawaku pada dunia Asta. Cinta telah mengurungku dalam penjara cinta Asta. Meskipun Asta telah memilih untuk tidak bersamaku lagi.
“Dir, aku sahabatmu. Aku tidak bisa terus-menerus melihatmu seperti ini.” ucap Rai. “Asta sudah jelas-jelas tidak mengharapkanmu lagi, lalu kenapa kamu masih memikirkannnya?” suara Rai begitu keras hingga membuat beberapa pengunjung café lain menoleh ke arah kami.
Aku tidak mengerti apa yang sedang ada di pikiranku. Perasaanku masih mengharapkan Asta dan aku berharap bisa kembali lagi padanya. Meski Rai telah berulang kali memberitahuku untuk tidak berharap pada laki-laki seperti Asta lagi, tapi hatiku tak bisa dibohongi. Dan untuk saat ini aku masih belum bisa melepas bayang-bayang Asta. Mungkin aku akan melupakannya tapi tentu tidak sekarang. Semua butuh waktu.
“Dira, aku sudah berusaha meyakinkanmu. Tapi, kau tetap pada pendirianmu.” Rai beranjak dari kursinya. “Kau tahu kan besok aku akan pergi? Jadi, anggap ini permintaan terakhirku sebelum aku pergi.” Lalu dia pergi keluar dari café. Kulihat dia menyeberang jalan di tengah gerimis.
Aku terdiam dan mencoba mencerna satu per satu kata yang Rai ucapkan barusan. Benar, memang. Besok siang Rai akan pergi ke Austria untuk melanjutkan kuliahnya disana. Dia ingin mewujudkan mimpinya sebagai designer grafis yang handal. Maka dari itu, kami sengaja menghabiskan malam ini di café sebagai malam perpisahan kami sebelum Rai pergi. Kulihat keluar café, Rai sudah tidak terlihat.
Mataku tertuju pada sebuah block note yang terletak di atas meja. Aku ingat itu milik Rai. Aku mengambil block note tersebut. Aku ragu untuk membukanya, karena aku tahu Rai tak pernah mengijinkanku untuk melihat apa yang dia tulis di block note tersebut. Dengan rasa penasaran dan keberanian secukupnya, aku membuka lembar demi lembar block note itu. Lalu, tatapanku terhenti pada sebuah halaman yang bertulis “Ini Tentang Sahabat atau Cinta?”.
Kubaca kelanjutan tulisan itu. Tulisan yang membuat jantungku seperti ingin berhenti berdetak. Tulisan yang membuatku tidak percaya. Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca. Aku tidak mengerti kenapa bisa-bisanya Rai menulis seperti ini. Lalu, beberapa bulir air menetes di wajahku.
—
Kulempar blocknote itu ke meja Rai. Dia terkejut dan langsung wajahnya menengadah ke arahku.
“Eh, Dira!” ucap Rai sambil beranjak dari kursinya. “Kau akan mengantarku juga?” tanya Rai.
“Apa maksud tulisan di halaman terakhir itu?” tanyaku dengan nada serius. “Kau mencintaiku, Rai?” lanjutku dengan sedikit berteriak. Rai hanya diam tak menjawab. Wajahnya memperlihatkan kalau dia sedang kebingungan.
“Jawab, Rai!” aku membentaknya. Rai masih tidak mau membuka bibirnya. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dan tak berani menatap wajahku. “Kenapa tidak jawab, Rai?” aku kembali bertanya dengan nada yang parau.
“Dir, ini tidak seperti yang-”
“Kau selama ini mencintaiku ‘kan?” Air mataku mulai mengalir. “Iya, kan?”
“Iya. Aku mencintaimu, Dir.” jawab Rai sambil menatap wajahku lekat-lekat. Air mataku semakin tidak bisa kutahan. Aku benar-benar tidak percaya kalau selama ini Rai menyimpan perasaannya padaku. Sahabat yang setiap hari mendengar curhatku tentang kekasihku.
Rai mendekatiku dan langsung memelukku. Aku merebahkan kepalaku di dada bidangnya.
“Maaf, Dir.” ucap Rai dan aku merasakan detak jantungnya lebih cepat. “Sudah lama aku menyimpan perasaan ini, mungkin 3 tahun, tapi aku tak pernah berani mengatakannya. Aku tahu kamu sangat mencintai Asta. Aku juga takut ini akan menghancurkan persahabatan kita, Dir.” lanjutnya sambil membelai-belai lembut rambutku.
Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba aku merasa nyaman saat berada di pelukan Rai. Tak seperti sebelumnya, dimana pelukan Rai terasa biasa bagiku. Sebuah pelukan seorang sahabat. Wajahku yang menempel erat di dadanya merasakan detak jantung Rai begitu cepat, dan seketika menular ke jantungku. Aku juga merasa detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Aku yakin Rai mengetahuinya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku. Aku masih tidak ingin lepas dari pelukan Rai saat ini. Aku ingin terus didekapnya.
“Dira, aku harus pergi. Maaf, ya!” Rai melepaskan pelukannya. Dia mengambil tasnya lalu melangkah keluar rumah. Sementara aku masih terdiam dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Perpisahan ini tidak seperti perpisahan dua orang sahabat. Tapi, perpisahan ini adalah perpisahan dua orang yang saling jatuh cinta. Ya, aku mencintainya juga sekarang. Setelah kurasakan nyaman di pelukannya dan seketika detak jantung lebih cepat dari biasanya. Aku mengerti bagaimana perasaan Rai selama ini. Tidak mudah memendam perasaan kepada seseorang selama itu. Tapi, Rai bisa melakukannya. Aku tahu dia benar-benar mencintaiku.
“Dira, jaga dirimu baik-baik.” Tiba-tiba Rai berbisik di telingaku. Dia memelukku dari belakang. Rai membalik badanku dan membuat kami berhadap-hadapan. “Aku mencintaimu.” kata Rai lalu mengecup keningku.
Dengan segenap perasaan yang berkecamuk di dalam hati, kurelakan kepergian Rai. Mobilnya melaju di bawah guyuran gerimis siang itu. Perlahan aku melangkah keluar halaman dan mengamati mobil Rai sebelum hilang di ujung jalan kompleks. Tak terasa titik-titik air gerimis membasahi rambut dan bajuku. Wajahku menengadah. Kulihat awan masih terlihat kusam dan wajahku sudah dipenuhi bulir-bulir air gerimis dan air mataku.
Di gerimis yang membasahiku, air mataku harus kembali mengalir. Aku harus kehilangan cinta lagi. Dulu, gerimis memisahkanku lewat sebuah pengkhianatan. Kini, saat aku menemukan cintaku yang baru gerimis membentangkan jarak di antara kami.
Pertemuan kami sesuatu yang tidak disengaja, walawpun kami
satu kampus tapi berbeda jurusan dan kami pun tidak saling mengenal,
awal perkenalan kami pada acara pentas seni di kampus yang dihadiri oleh
mahasiswa dari berbagai jurusan, aku diperkenalkan oleh sahabat ku
mita, yang akhirnya kami pun saling berkenalan
“nama ku ahmad, siapa nama kamu?”“nama ku permata”
“kamu dari jurusan apa?”
“aku dari jurusan ekonomi, kalaw kamu?”
“aku dari sastra”
Itu lah awal permulaan perkenalan kami, yang akhirnya kami pun saling bertukaran nomor telepon. Awal dari pertemuan itu yang akhirnya kami berdua saling ketemu di kampus maupun di luar kampus.
Entah kenapa aku merasa nyaman saat bersamanya apabila saat dia berada di samping ku, kadang dia sms ku minta jemput kadang pula dia sms ku minta ketemuan, dia memang berbeda dengan wanita lain yang selama ini ku kenal, ternyata dari kecerian yang selalu ku lihat ini ada sesuatu yang dia sembunyikan, yaitu penyakitnya pada kerusakan pada ginjalnya, dia adalah sosok wanita yang sangat penyayang dan dia adalah sosok wanita yang sangat baik bagi ku, kecerian itu kini telah tiada.
Pada suatu hari dia berkata kepadaku, “ada seseorang wanita memakai pakaian putih dan dia membawa setangkai bunga, apakah kamu tau buat siapa bunga itu?”
Aku pun tidak tahu apa maksud dari perkataan dia tersebut, dan dia pun berkata “aku sayang sama kamu, boleh kah aku menyanyangi diri mu”, aku pun menjawab “boleh-boleh saja, tapi kata sayang itu kan luas buat siapa saja”, “ya memang sudah lama aku menyukai dirimu ahmad…”
“bukannya kamu tidak mau pacaran dulu hehehehe…”
“untuk yang terakhir kalinya mau kah kamu menjadi pacar ku?”
“aku pun sayang padamu permata, aku mau menjadi kekasih mu…”
“aku ingin bertemu diri mu sekarang?”
“bukannya kamu sedang sakit?”
“yah di rumah ku lah, tapi kamu bawa buah-buahan y”, sama martabak dan yang lain lain hehehe”
“ok deh”
“jangan deh kamu bawa bunga saja”
hati ku langsung berpikir ‘kenapa tiba tiba dia meminta bunga’
Aku pun langsung bergegas menuju ke rumahnya yang tak jauh dari rumah ku ya sekitar kurang lebih 4 km, aku pun sampai rumahnya dan aku pun bertemu dengan orangtuanya, aku pun langsung disuruh masuk untuk menemui permata, air mata ini tak bisa tertahan saat aku melihat keadaan permata yang kurus akibat penyakit yang dia alami saat ini, setelah ku bercanda dengannya dia memanggil ayahnya dan adiknya untuk menemaninya dengan tersenyum dia memandang kami, tak lama kemudian dia berkata, ayah aku ngantuk aku tidur dulu ya, langsung saja matanya pun terlelap tidur sambil tersenyum, aku pun langsung memegang kakinya yang dingin sekali dan langsung memberitahu kepada ayahnya, pak kakinya dingin sekali, ayahnya pun langsung mengeluarkan air matanya disitulah akhir pertemuan kami. Aku tak menyangka akhir sebuah pertemuan kami seperti ini, tak ada sehari pun kami jadian, tak lama juga kami saling berbicara sebelum dia menutupkan matanya.
Ya allah tempatkan lah dia di sisi mu, ampuni lah segala dosa dosanya, pertemukanlah kami di akhirat nanti karena dia wanita yang sangat ku sayangi, aku ikhlas atas kepergiannya.
“Kau lah wanita yang selama ini ku cari dalam hidupku, kau
yang kembalikan iman dalam dada ini, hati ini ingin memilihmu namun
apalah daya jika kesempatan itu tiada” kata-kata itu selalu terngiang
dalam pikiranku.
Aku yakinkan diri ini, kata-kata itu hanya untuk menghiburku agar aku
tidak larut dalam kepedihan yang berkepanjangan. Kututup ceritaku, lima
bulan cerita cinta ini, namun tunas itu tumbuh dari masa lalu. Manis
pahit bersamamu, Rangga Adi Putra. Kisah Cinta terlarang ini hanya akan
menyakiti hati orang-orang di sekitar kita nanti.
Empat belas tahun yang lalu, Rangga adalah teman kecilku, pendiam dan
pintar. Seperti layaknya anak kecil lainnya, kami pun bercanda tawa dan
bertengkar. sampai cinta monyet itu menghampiri kita, ya, Rangga adalah
cinta monyetku di bangku sekolah dulu. Namun, kebersamaan kita tak
cukup lama cuma sampai di bangku SMP, selepas itu kita hilang kontak,
sampai takdir mempertemukan kita di satu kampus yang sama, fakultas dan
jurusan yang sama, hanya beda angkatan. Ternyata tidak sampai disitu,
garis Tuhan mempertemukan kita lagi, sekarang aku dan Rangga kerja dalam
satu kantor yang sama.
“Eh, pak Rangga, selamat datang di tempat kerja yang baru” sapaku kepada Rangga.
“makasih bu, mohon bantuannya” jawab Rangga dengan polosnya.
“makasih bu, mohon bantuannya” jawab Rangga dengan polosnya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tak terasa kebersamaan
sebagai rekan kerja telah berjalan dua tahun. Kita semakin akrab.
“Pak Rangga sama Bulan kok akrab banget ya? Jangan-jangan ada yang udah jalan bareng nih?” kata Bu Resti meledek.
“O, iya, tiap hari kita udah jalan bareng kok bu ya?” Rangga menjawab dengan candanya sambil melihat ke arahku.
Aku hanya tersenyum simpul mendengar gurauan mereka. Aku sudah punya calon suami, Rangga pun demikian, dia sudah punya tunangan, nggak mungkin cinta itu akan tumbuh lagi.
“O, iya, tiap hari kita udah jalan bareng kok bu ya?” Rangga menjawab dengan candanya sambil melihat ke arahku.
Aku hanya tersenyum simpul mendengar gurauan mereka. Aku sudah punya calon suami, Rangga pun demikian, dia sudah punya tunangan, nggak mungkin cinta itu akan tumbuh lagi.
Layaknya sebuah tunas yang tertinggal, tersiram air hujan, maka akan
tumbuh dengan suburnya, begitu pula perasaan yang dulu kurasakan yang
kunamakan “cinta monyet” ini ternyata tumbuh memunculkan tunas baru yang
lebih indah. Namun, rasa itu masih punya batasan, aku sudah punya
seseorang yang mencintaiku, nggak mungkin aku mencintai Rangga. Kalimat
itu yang selalu menjadi pedomanku untuk menghapus rasaku ke Rangga.
Rencana itu kita yang rancang namun keputusan semuanya kita
kembalikan pada Sang Maha Hidup. Tuhan menakdirkan aku tuk pisah dengan
calon suamiku, entah rahasia apa yang tersirat dari kisah yang harus
kandas di tengah jalan. Aku terjatuh dan terjerembab dalam kesedihan.
Saat kita jatuh, baru ingat dan mencoba tuk mendekati Sang Penguasa
Hati. “ya Tuhan, Rahasia apa yang Engkau tuliskan untukku, aku tak
sekuat batu karang di lautan, Mengapa Engkau berikan ujian seberat ini,
aku harus pisah dengan orang yang kucintai demi orang yang kusayangi”
doaku dalam sujud di malam yang hening.
Kini aku berjalan sendiri, tertatih mencoba bangkit tanpa seseorang
di sampingku. Kekuatan itu hanya bertumpu pada hati yang pasrah atas
takdir yang harus kujalani. Dalam kepedihanku, ternyata Tuhan memberikan
kesempatan tuk menenangkan fikiran. Kita dapat liburan dari tempat
kerja. Kepedihanku, kesedihanku sedikit berkurang. Bahkan aku sudah
bangkit kembali setelah menenangkan pikiran dan hatiku. Membiasakan diri
tuk jalan sendiri, kumpul sahabat, kembali mencurahkan hati pada Sang
Illahi untuk lebih kuat menghadapi ujianNya.
Perjalanan waktu menumbuhkan rasa yang pernah ada. Rasa yang terkubur
ternyata memunculkan tunas-tunas baru. Kini aku tak punya pedoman tuk
membatasi rasa ini, karena aku sendiri. Kita jalan. Tak pernah
menyatakan rasa seperti anak muda pada umumnya “I LOVE YOU” atau apalah
namun Kita hanya menjalani kehidupan dimana Kita bisa berjalan bersama,
bercanda, bahkan mungkin bertengkar. Kesalahannya Cuma satu, mungkin
Kita terlalu akrab sampai lupa diri bahwa Kita bukan satu. Kita berbeda
namun, jiwa muda Kitalah yang menginginkan kita lebih dari sahabat. Tak
ada kata cinta namun kita jalani kisah terlarang ini.
Terik matahari di siang ini serasa membakar kulit tak ku pedulikan
lagi. Aku tetap tancap gas sepeda motor kesayanganku menyibak macetnya
kota kelahiranku, kota Rembang tercinta. Aku sandarkan motorku di tempat
parkir swalayan terbesar di kota itu, “nitip pak” kataku menggoda
tukang parkirnya. “iya neng sayang” tutur tukang parkir ikut menggoda.
Ah, inilah rasanya jadi orang yang bersalah, mengendap-ngendap seperti
maling di siang hari, “oh My God, apa yang aku lakukan” kata hati
kecilku. Itulah godaan dan ujian cinta yang terjadi dalam hidupku.
Setelah aku terjatuh dari kisahku dulu kini Aku mencintai tunangan orang
lain.
Aq sudah di tempat parkir, kamu dimana?
Satu pesan terkirim ke nomor Rangga, selang dua menit, ada sms masuk dari Rangga
Aq sudah di depan, kamu keluar dulu
Satu pesan terkirim ke nomor Rangga, selang dua menit, ada sms masuk dari Rangga
Aq sudah di depan, kamu keluar dulu
Kita pun meluncur menuju pantai. Di perjalanan menuju pantai itu
terasa jauh, air mata tak bisa dibendung. Tuhan, ujian ini begitu berat
untukku. Aku menangisi kesalahanku. Kesalahanku karena tidak mau bergaul
dengan orang-orang di sekitarku. Aku lebih asyik dengan kegiatanku
sendiri, Tak mendengar kabar dari orang-orang sekitarku tentang Rangga.
Aku lebih suka mengisi kegiatanku dengan hal-hal yang lebih bermanfaat
dari pada mendengarkan celoteh orang-orang di sekitarku. Kini rasaku
seakan menusukku sendiri, meracuni indahnya cinta seperti apa yang
dikatakan para penyair cinta. Sampai juga kita di tepi pantai.
“kemarin katanya mau ngomong sesuatu?” Tanya Rangga
“ngomong nggak ya?” kataku menggoda
“kalau nggak mau ngomong kita pulang saja” Rangga menimpali dengan membuang muka
“he he he, iya, iya pak Rangga sayang, nggak usah ngambek nanti cakepnya hilang lho” jawabku kembali menggodanya.
Aku terdiam, menarik nafas panjang, mencoba mengatur nafas, aku takut nanti saat aku cerita air mata itu akan jatuh.
“Aku memang salah, aku yang sombong, terlalu angkuh, cuek terhadap orang-orang di sekitarku. Aku tak pernah mau tau dan mendengar cerita tunanganmu, aku terlalu asyik dengan kegiatanku sendiri, aku tak pernah mendengar omongan mereka. Kalau saja aku lebih peka, mungkin rasa ini tidak akan terlalu dalam. Kejadian-kejadian itu telah memberikan jawaban buat aku, wirausaha yang kau jalani, sumbangan yang masuk ke kantor, aku semakin jelas menemukan jawaban itu. Tuhan, Kenapa? kamu sudah berjalan di atas jalan yang serius, kenapa aku harus hadir di antara kalian, aku hanyalah kerikil tajam dalam hidupmu, singkirkan aku dalam hidupmu, buang rasa itu”. Kataku menjelaskan dengan berurai air mata yang tak dapat dibendung. Rangga mencoba menenangkan aku dengan mendekapku di pelukkannya.
“Aku kira kamu sudah tau semuanya, karena orang-orang di sekitar kita juga sudah mendengar kalau aku tunangan dengan dia, awalnya aku kira kamu hanya pura-pura tidak tahu, ternyata memang benar-benar tidak tahu. Kamu orang baik. Itu bukan sebuah kesalahan tapi itulah sikap yang benar, mengisi hari-hari kita dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, bukan malah ngomongin orang lain, lebih suka berkumpul dengan mengisi kegiatan yang bermanfaat, kau imbangi kegiatan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. sifat ini yang selama ini aku cari sebagai pendampingku kelak, namun kenapa kau hadir dalam hidupku saat aku sudah memutuskan berjalan serius dengan orang lain?” suara Rangga menenangkanku dalam pelukkannya.
Namun setelah ku dengarkan kalimat yang terakhirnya, serasa Tuhan tidak Adil padaku. Tangisku semakin pecah, mendengar kalimat yang telah diucapkan Rangga.
“Bulan Pramesthi Alam, kaulah wanita yang selama ini kucari dalam hidupku, namun kenapa? Kau hadir setelah aku memilih orang lain, Tuhan, kenapa? Kenapa cinta ini harus hadir kembali? Cinta yang dulu telah terkubur di tengah kesibukan kita, kini harus tumbuh kembali? kenapa harus sekarang?” kata Rangga menambahi sambil mengusap air mataku.
“Pak Rangga sayang, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok namun aku berharap dan berdoa yang terbaik buat kita, kita kembalikan lagi semua padaNya. Dialah yang Menciptakan rasa ini, padaNya pula kita kembalikan. Aku pernah dengar, Tuhan memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Mungkin hari ini kamu menginginkan aku namun di tahun yang akan datang tunanganmulah yang kau butuhkan. Aku yakin dia lebih baik dari pada aku. Dia pasti lebih cantik, pintar, sholihah juga. Kalau dia tidak seperti itu, aku yakin kamu nggak kan memilihnya.” Kataku mencoba mencairkan suasana.
“Dua doa untuk kita, semoga aku menemukan penggantimu dan pak Rangga hidup bahagia dengan dia, Amin ya Robb” kataku menambahi.
“Amin, semoga doa kita didengar olehNya” kata Rangga mengamini.
“Lan, wanita sepertimu itu satu banding seribu di dunia ini, itu yang buat aku berat melepasmu… kecantikan itu nggak ada di rupa namun cantik itu ada dalam diri kita, hati kita. Aku tahu kamu karena kita bertemu tidak hanya hari ini, kita sudah mengenal dari sekolah dasar sampai sekarang. Siapa sih yang tidak kenal Bulan Pramesthi Alam? Wanita sholihah, taat pada Tuhannya, agamanya, orangtuanya, bahkan orang-orang di sekitarnya, wanita yang pintar dengan segudang kegiatan baik di bidang agama maupun masyarakat, dibutuhkan semua orang, menjadi kebanggaan orang tua” kata Rangga mencoba menambahi agar keadaan kembali normal.
“Udahlah Ngga, nggak usah mengeluarkan kata-kata manis buatku, aku nggak sebaik yang kamu kira. Itu Cuma pandangan sekilas saja, kamu salah Ngga” kataku mencoba menjawab kata-kata Rangga yang begitu menyakitkan bagiku. Aku nggak sebaik yang kamu kira.
“Lho itu kenyataan Lan” kata Rangga
“Udahlah, nggak usah dibahas masalah itu, semoga aku bisa melepasmu dengan ikhlas, aku nggak mau jadi perusak, aku nggak pernah memikirkan bagaimana hati tunanganmu namun satu yang menjadi beban buatku, orangtua dia. Karena aku juga punya orangtua, aku mencintai mereka. Aku mengikhlaskanmu karena aku sayang sama orangtuaku. Biarlah kisah ini menjadi cerita kita, kisah dalam perjalanan hidup kita, aku belajar banyak dari kisah terlarang kita. Lebih dewasa dalam berpikir dan menghadapi semua dengan tetap ingat pada Maha Pencipta cinta di hati ini” jelasku panjang lebar.
“ngomong nggak ya?” kataku menggoda
“kalau nggak mau ngomong kita pulang saja” Rangga menimpali dengan membuang muka
“he he he, iya, iya pak Rangga sayang, nggak usah ngambek nanti cakepnya hilang lho” jawabku kembali menggodanya.
Aku terdiam, menarik nafas panjang, mencoba mengatur nafas, aku takut nanti saat aku cerita air mata itu akan jatuh.
“Aku memang salah, aku yang sombong, terlalu angkuh, cuek terhadap orang-orang di sekitarku. Aku tak pernah mau tau dan mendengar cerita tunanganmu, aku terlalu asyik dengan kegiatanku sendiri, aku tak pernah mendengar omongan mereka. Kalau saja aku lebih peka, mungkin rasa ini tidak akan terlalu dalam. Kejadian-kejadian itu telah memberikan jawaban buat aku, wirausaha yang kau jalani, sumbangan yang masuk ke kantor, aku semakin jelas menemukan jawaban itu. Tuhan, Kenapa? kamu sudah berjalan di atas jalan yang serius, kenapa aku harus hadir di antara kalian, aku hanyalah kerikil tajam dalam hidupmu, singkirkan aku dalam hidupmu, buang rasa itu”. Kataku menjelaskan dengan berurai air mata yang tak dapat dibendung. Rangga mencoba menenangkan aku dengan mendekapku di pelukkannya.
“Aku kira kamu sudah tau semuanya, karena orang-orang di sekitar kita juga sudah mendengar kalau aku tunangan dengan dia, awalnya aku kira kamu hanya pura-pura tidak tahu, ternyata memang benar-benar tidak tahu. Kamu orang baik. Itu bukan sebuah kesalahan tapi itulah sikap yang benar, mengisi hari-hari kita dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, bukan malah ngomongin orang lain, lebih suka berkumpul dengan mengisi kegiatan yang bermanfaat, kau imbangi kegiatan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. sifat ini yang selama ini aku cari sebagai pendampingku kelak, namun kenapa kau hadir dalam hidupku saat aku sudah memutuskan berjalan serius dengan orang lain?” suara Rangga menenangkanku dalam pelukkannya.
Namun setelah ku dengarkan kalimat yang terakhirnya, serasa Tuhan tidak Adil padaku. Tangisku semakin pecah, mendengar kalimat yang telah diucapkan Rangga.
“Bulan Pramesthi Alam, kaulah wanita yang selama ini kucari dalam hidupku, namun kenapa? Kau hadir setelah aku memilih orang lain, Tuhan, kenapa? Kenapa cinta ini harus hadir kembali? Cinta yang dulu telah terkubur di tengah kesibukan kita, kini harus tumbuh kembali? kenapa harus sekarang?” kata Rangga menambahi sambil mengusap air mataku.
“Pak Rangga sayang, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok namun aku berharap dan berdoa yang terbaik buat kita, kita kembalikan lagi semua padaNya. Dialah yang Menciptakan rasa ini, padaNya pula kita kembalikan. Aku pernah dengar, Tuhan memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Mungkin hari ini kamu menginginkan aku namun di tahun yang akan datang tunanganmulah yang kau butuhkan. Aku yakin dia lebih baik dari pada aku. Dia pasti lebih cantik, pintar, sholihah juga. Kalau dia tidak seperti itu, aku yakin kamu nggak kan memilihnya.” Kataku mencoba mencairkan suasana.
“Dua doa untuk kita, semoga aku menemukan penggantimu dan pak Rangga hidup bahagia dengan dia, Amin ya Robb” kataku menambahi.
“Amin, semoga doa kita didengar olehNya” kata Rangga mengamini.
“Lan, wanita sepertimu itu satu banding seribu di dunia ini, itu yang buat aku berat melepasmu… kecantikan itu nggak ada di rupa namun cantik itu ada dalam diri kita, hati kita. Aku tahu kamu karena kita bertemu tidak hanya hari ini, kita sudah mengenal dari sekolah dasar sampai sekarang. Siapa sih yang tidak kenal Bulan Pramesthi Alam? Wanita sholihah, taat pada Tuhannya, agamanya, orangtuanya, bahkan orang-orang di sekitarnya, wanita yang pintar dengan segudang kegiatan baik di bidang agama maupun masyarakat, dibutuhkan semua orang, menjadi kebanggaan orang tua” kata Rangga mencoba menambahi agar keadaan kembali normal.
“Udahlah Ngga, nggak usah mengeluarkan kata-kata manis buatku, aku nggak sebaik yang kamu kira. Itu Cuma pandangan sekilas saja, kamu salah Ngga” kataku mencoba menjawab kata-kata Rangga yang begitu menyakitkan bagiku. Aku nggak sebaik yang kamu kira.
“Lho itu kenyataan Lan” kata Rangga
“Udahlah, nggak usah dibahas masalah itu, semoga aku bisa melepasmu dengan ikhlas, aku nggak mau jadi perusak, aku nggak pernah memikirkan bagaimana hati tunanganmu namun satu yang menjadi beban buatku, orangtua dia. Karena aku juga punya orangtua, aku mencintai mereka. Aku mengikhlaskanmu karena aku sayang sama orangtuaku. Biarlah kisah ini menjadi cerita kita, kisah dalam perjalanan hidup kita, aku belajar banyak dari kisah terlarang kita. Lebih dewasa dalam berpikir dan menghadapi semua dengan tetap ingat pada Maha Pencipta cinta di hati ini” jelasku panjang lebar.
Tak terasa hari sudah sore, kami pun meninggalkan pantai itu dengan
sejuta kenangan yang menyakitkan dan segenggam tanda tanya yang melekat
pada hati kita. Hanya deburan ombak yang menjadi saksi kebersamaan kita.
Kutemukan dan kusimpan sesuatu yang berharga dalam hidupku, cinta tak
harus memiliki dan menyakiti. Mungkin kebersamaan kita harus berakhir
seiring dengan berjalannya waktu, Jalan kita sudah berbeda. Namun kisah
ini tak kan mungkin hilang dalam kehidupan kita. Tuhan memberikan
perjalanan yang begitu terjal dan curam untuk mendapatkan sesuatu yang
terbaik. Cinta buatmu Rangga, ku lantunkan lewat syair puisiku…
Hembusanmu,
Ketika angin berada di sisiku..
Terkadang tak kusadari
Karena ia berhembus dengan kasihnya hingga ku terbuai..
Ketika angin itu beranjak dariku,
Kusadari betapa ia ku butuhkan
Kini ku rindukan ia dengan segala keterbatasanku
Dan ketika mentari ku lihat..
Sampai senja datang,
Hingga bulan dan bintang
Rukun hiasi langit malam
Ku yakin ia akan datang
Hembuskan kasihnya kembali
Andai saja dia tahu,
Betapa menumpuknya rasa cinta ini,
Rindu yang tak terbendungkan dalam sanubari…
Kan kutitipkan seluruh rasa di pundak burung cicit
Bersemangatlah menerima rindu yang selalu bangkit,
Ketika angin berada di sisiku..
Terkadang tak kusadari
Karena ia berhembus dengan kasihnya hingga ku terbuai..
Ketika angin itu beranjak dariku,
Kusadari betapa ia ku butuhkan
Kini ku rindukan ia dengan segala keterbatasanku
Dan ketika mentari ku lihat..
Sampai senja datang,
Hingga bulan dan bintang
Rukun hiasi langit malam
Ku yakin ia akan datang
Hembuskan kasihnya kembali
Andai saja dia tahu,
Betapa menumpuknya rasa cinta ini,
Rindu yang tak terbendungkan dalam sanubari…
Kan kutitipkan seluruh rasa di pundak burung cicit
Bersemangatlah menerima rindu yang selalu bangkit,
Cinta ini akan jadi kenangan buat hidupku.
Maaf, aku mencintaimu, Rangga …
Maaf, aku mencintaimu, Rangga …
Semua Kenangan Kita
Pagi ini hujan mengguyur kampung kecil kami, awan dan kabut
hitam menutupi senyum kecil penduduk yang biasa kulihat setiap pagi,
hawa dingin ini menembus kulit sehingga membuatku merasa sangat malas
untuk beranjak ke sekolah, gemercik air kian menetes di atap sebuah
gubuk tua dekat rumah dan terdengar langkah kaki seorang pemuda yang
berjalan ke arah rumahku kulihat dia dia dari balik jendela kamar
seketika itu ia melihatku disini. Yah! bagaimana aku tak mengenalinya?
Sedangkan dia adalah orang yang sangat aku benci. Yapp, namanya Deo
“Hai Nab!” ucapnya dari balik jendela
“Hai, Ada keperluan apa kamu kesini?” jawabku sedikit jutek
“Apa Nab? Aku tak mendengar suaramu, Keluarlah!”
Aku segera keluar menghampirinya, kubuka pintu dan kulihat dia berdiri di hadapanku dengan seragamnya yang basah kuyup akibat hujan deras pagi ini
“Ada keperluan apa kamu kesini?”
“Aku ingin berangkat bersamamu hari ini”
Hah? Aku terkejut mendengar ajakan Deo pagi ini, betapa tak terkejut? Biasanya setiap pagi ia selalu membuatku jengkel dengan tingkahnya yang sangat mengganggu bagiku! Entahlah setan apa yang telah merasuki tubuh Deo pagi ini, aku juga tak tahu pasti.
“Nab? Kok melamun?” tanyanya kembali
“Hah? Eh iya iya maaf.. Hehe masuk gih aku akan buatin teh hangat”
“Hai, Ada keperluan apa kamu kesini?” jawabku sedikit jutek
“Apa Nab? Aku tak mendengar suaramu, Keluarlah!”
Aku segera keluar menghampirinya, kubuka pintu dan kulihat dia berdiri di hadapanku dengan seragamnya yang basah kuyup akibat hujan deras pagi ini
“Ada keperluan apa kamu kesini?”
“Aku ingin berangkat bersamamu hari ini”
Hah? Aku terkejut mendengar ajakan Deo pagi ini, betapa tak terkejut? Biasanya setiap pagi ia selalu membuatku jengkel dengan tingkahnya yang sangat mengganggu bagiku! Entahlah setan apa yang telah merasuki tubuh Deo pagi ini, aku juga tak tahu pasti.
“Nab? Kok melamun?” tanyanya kembali
“Hah? Eh iya iya maaf.. Hehe masuk gih aku akan buatin teh hangat”
Kupercepat langkahku menuju dapur, kubuatkan dia secangkir teh hangat
dan segera kuberikan padanya dan tak lupa kuambilkan handuk merah kecil
untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
“Hei ini tehnya masih hangat loh! Oh ya ini handuknya”
“Hehe.. Iya jelek makasih ya!”
“Hem mulai! Dasar tumpil”
“Em cepat mandi gih! Bau banget tau” ucapnya sambil menjulurkan lidah
“Aku udah mandi tau, bentar aku ganti baju! Tunggu ya tumpil”
“Hei ini tehnya masih hangat loh! Oh ya ini handuknya”
“Hehe.. Iya jelek makasih ya!”
“Hem mulai! Dasar tumpil”
“Em cepat mandi gih! Bau banget tau” ucapnya sambil menjulurkan lidah
“Aku udah mandi tau, bentar aku ganti baju! Tunggu ya tumpil”
Segera aku menaiki tangga dan berlari menuju kamar dengan kecepatan
tinggi bak meteor menghantam bumi kuambil seragam putih abu-abu ku yang
mulai kusam warna putihnya setelah tiga tahun kupakai, lalu ku ikat
rambut ku yang hitam dan panjang, kuambil kaos kaki dan segera kupakai
sepatu hitam bututku. Kulihat penampilanku pagi ini pada sebuah lemari
tua pemberian kakekku sejak aku lahir, pada cermin itu terlihat
bayanganku mulai dari kepala sampai kaki dan rasanya pagi ini aku merasa
ada sesuatu yang aneh seperti ada sebuah getaran di dalam dada yang
membuatku tak bisa menahan senyum genit yang terpancar di wajahku
setelah puas bersolek, aku mengambil tas merah jambuku, kemudian menutup
pintu kamar dan segera menuruni tangga
“Hai tumpil.. Hehe”
“Wow cantik sekali kamu jelek.. Haha”
“Hemm udah dari dulu tau! Kamu sih gak merhatiin aku.. Haha”
“Heemm genit kamu, ayo gih keburu siang nanti telat” ucapnya
“Oke tumpil, bentar aku pamitan ke ayah dan ibu dulu”
“Wow cantik sekali kamu jelek.. Haha”
“Hemm udah dari dulu tau! Kamu sih gak merhatiin aku.. Haha”
“Heemm genit kamu, ayo gih keburu siang nanti telat” ucapnya
“Oke tumpil, bentar aku pamitan ke ayah dan ibu dulu”
Ku hampiri ayah dan ibu di ruang tengah, kucium kedua tangan mereka
“Ayah, Ibu, aku berangkat sekolah ya? Assalamualaikum”
“Iya, Nak hati-hati ya”
Aku beranjak ke depan dan segera berangkat ke sekolah
“Tumpil ayo!” ajakku
“Iya jelek! Cepat naik gih dan pakai jas hujan nya”
“Kita naik sepeda motor? Aku kira jalan.. Hehe”
“Iyalah, cepat naik nanti kita telat jelek”
“Iya iya”
“Ayah, Ibu, aku berangkat sekolah ya? Assalamualaikum”
“Iya, Nak hati-hati ya”
Aku beranjak ke depan dan segera berangkat ke sekolah
“Tumpil ayo!” ajakku
“Iya jelek! Cepat naik gih dan pakai jas hujan nya”
“Kita naik sepeda motor? Aku kira jalan.. Hehe”
“Iyalah, cepat naik nanti kita telat jelek”
“Iya iya”
Dalam perjalanan aku gugup untuk mengajaknya berbicara dan…
“Emm.. Dingin ya?” Tanya Deo
“Huh iya dingin banget” jawabku
“Nah kalo hujan kayak gini dingin banget, kalo kamu kedinginan peluk aku sini biar hangat rasanya.. Hahaha”
“Ihh.. Centil banget kamu” ucapku sambil menepuk kakinya
Deo semakin tertawa dan tiba-tiba ia menambah kecepatan, hingga setelah tiba di sekolah entah disengaja atau tidak ia mengerem secara mendadak membuatku spontan memeluk tubuhnya. Hmm!
“Haha, Gimana Nab? Hangat kan?” ucapnya sambil memegang tanganku
“Eh apaan sih kamu? Tumpil jail”
“Emm.. Dingin ya?” Tanya Deo
“Huh iya dingin banget” jawabku
“Nah kalo hujan kayak gini dingin banget, kalo kamu kedinginan peluk aku sini biar hangat rasanya.. Hahaha”
“Ihh.. Centil banget kamu” ucapku sambil menepuk kakinya
Deo semakin tertawa dan tiba-tiba ia menambah kecepatan, hingga setelah tiba di sekolah entah disengaja atau tidak ia mengerem secara mendadak membuatku spontan memeluk tubuhnya. Hmm!
“Haha, Gimana Nab? Hangat kan?” ucapnya sambil memegang tanganku
“Eh apaan sih kamu? Tumpil jail”
Segera ke lepas tanganku dan menuruni hondanya “Makasih tumpil,
kutunggu di kelas!” ucapku sambil berlari menuju kelas, dan sesampainya
di kelas. Aku bingung kenapa teman-teman pada bersorak CIEE? Apa mereka
tadi melihatku dan Deo? Haha biarlah aku hanya tersenyum sambil duduk di
bangku cokelat tua yang sedikit terdapat coretan tinta dan tiba-tiba
ada seseorang yang menyoleku dari belakang, Yap! Siapa lagi kalau bukan
Terry
“Nabilaaa”
“Hassh.. Kamu Ter? Dasar penyakit colak colek orang”
“Hehe maaf maaf.. Ehem yang pagi ini kasmaran! Cieeciee”
“Apaan sih kamu Terr”
“Tuh kan pipinya merah!”
“Terryyyyy!!” ucapku sambil mencubit pipinya yang cabi
“Hehe ampun cantik, Eh itu loh pangeran tumpilnya datang.. Haha”
Kriiiiiiing.. Bel berbunyi “Yah Dira gak masuk sekolah, sendirian deh”
batinku
“Nab, Dira gak masuk ya? Aku boleh dong duduk sini?” Tanya Deo
“Emm.. Bayar! Hehe”
“Jiaa nona pajak”
“Udah duduk aja, Deo”
“Nabilaaa”
“Hassh.. Kamu Ter? Dasar penyakit colak colek orang”
“Hehe maaf maaf.. Ehem yang pagi ini kasmaran! Cieeciee”
“Apaan sih kamu Terr”
“Tuh kan pipinya merah!”
“Terryyyyy!!” ucapku sambil mencubit pipinya yang cabi
“Hehe ampun cantik, Eh itu loh pangeran tumpilnya datang.. Haha”
Kriiiiiiing.. Bel berbunyi “Yah Dira gak masuk sekolah, sendirian deh”
batinku
“Nab, Dira gak masuk ya? Aku boleh dong duduk sini?” Tanya Deo
“Emm.. Bayar! Hehe”
“Jiaa nona pajak”
“Udah duduk aja, Deo”
Iya ya ya.. delapan jam pelajaran aku lewati dengan Deo dan telah selesai! Horee! Hahaha
“Nab, aku mau ngomong sesuatu”
“Apa?”
“Aku suka kamu, dan kamu mau gak jadi pacarku?”
Aku hanya tersenyum dan… “Iya”
“Yes! I LOVE YOU NABILA” ucap Deo sambil memeluku
“Udah ayo pulang!”
“Ayo sayanggkuu”
Haahaahaa…
“Nab, aku mau ngomong sesuatu”
“Apa?”
“Aku suka kamu, dan kamu mau gak jadi pacarku?”
Aku hanya tersenyum dan… “Iya”
“Yes! I LOVE YOU NABILA” ucap Deo sambil memeluku
“Udah ayo pulang!”
“Ayo sayanggkuu”
Haahaahaa…
Sepanjang perjalanan aku merasa sangat senang, hingga tiba di rumah, aku menuruni hondanya dan tiba-tiba….
“Ini buatmu sayang” ucap Deo sambil member bunga mawar merah padaku
“Hehe.. Makasih”
“Ini buatmu sayang” ucap Deo sambil member bunga mawar merah padaku
“Hehe.. Makasih”
Aku memasuki rumah dengan perasaan berbunga-bunga kuciumi setangkai
mawar merah darinya, dan langsung kuambil handphone ku kucari namanya di
kontak kukirimi pesan singkat “Makasih ya sayang mawarnya, I love you”
lima menit kemudian.. “Maaf sayang baru bales, Hehe iya sama-sama I love you too”
Dan kita selalu mengirim pesan singkat, tepat pukul lima sore aku disuruh ibu menemani nenek di rumahnya, kuambil sepeda ku dan kukayuh hingga ke rumah nenek, setelah tiba kulihat handphone ku terdapat satu pesan baru dari Deo “Nab sayang bisa kita ketemu? Aku ingin melihatmu sekarang? Aku menunggumu disini, di taman yang biasa kita bermain kuharap kamu akan datang menemuiku sebelum jam enam sore, AKU SAYANG KAMU”
Haduh bagaimana ini? Aku harus bilang apa ke nenek? Aku kan baru datang ke rumahnya? “Maaf yang, aku baru datang ke rumah nenek aku gak bisa datang maafin aku” balasku
“Kamu gak bisa ya? Ya udah semoga gak menyesal ya”
Loh kenapa dia sms gitu? Apa maksudnya? Aku telefon tapi diriject terus
hingga 10 menit kemudian ada panggilan dari nomor yang tak aku ketahui
“Halo Nab ini kamu?”
“Iya iya ini siapa?”
“Aku Fian Nab temenya Deo, Deo Nab Deo!!”
“Kenapa ian? Kenapa Deo.. Haloo?” tanyaku khawatir
Lalu sambungan terputus, Oh Tuhan kenapa Deo? Aku sangat khawatir, hatiku kacau, lalu dengan bimbang kuberanikan diri izin ke nenek dan syukurlah nenek mengizibkan, segera kuambil sepeda ku di teras kukayuh dengan kecepatan yang tinggi hingga akhirnya aku tiba di RSU “Ya Tuhan ada apa dengan Deo?” batinku. Tanpa berfikir panjang aku langsung memasuki RSU dan menanyakan dimana Deo dirawat.
“Suster, tempat pasien yang bernama Deo Volenteo dimana?” tanyaku
“Sebentar saya lihat, em di ruang no 54”
“Terima kasih suster”
lima menit kemudian.. “Maaf sayang baru bales, Hehe iya sama-sama I love you too”
Dan kita selalu mengirim pesan singkat, tepat pukul lima sore aku disuruh ibu menemani nenek di rumahnya, kuambil sepeda ku dan kukayuh hingga ke rumah nenek, setelah tiba kulihat handphone ku terdapat satu pesan baru dari Deo “Nab sayang bisa kita ketemu? Aku ingin melihatmu sekarang? Aku menunggumu disini, di taman yang biasa kita bermain kuharap kamu akan datang menemuiku sebelum jam enam sore, AKU SAYANG KAMU”
Haduh bagaimana ini? Aku harus bilang apa ke nenek? Aku kan baru datang ke rumahnya? “Maaf yang, aku baru datang ke rumah nenek aku gak bisa datang maafin aku” balasku
“Kamu gak bisa ya? Ya udah semoga gak menyesal ya”
Loh kenapa dia sms gitu? Apa maksudnya? Aku telefon tapi diriject terus
hingga 10 menit kemudian ada panggilan dari nomor yang tak aku ketahui
“Halo Nab ini kamu?”
“Iya iya ini siapa?”
“Aku Fian Nab temenya Deo, Deo Nab Deo!!”
“Kenapa ian? Kenapa Deo.. Haloo?” tanyaku khawatir
Lalu sambungan terputus, Oh Tuhan kenapa Deo? Aku sangat khawatir, hatiku kacau, lalu dengan bimbang kuberanikan diri izin ke nenek dan syukurlah nenek mengizibkan, segera kuambil sepeda ku di teras kukayuh dengan kecepatan yang tinggi hingga akhirnya aku tiba di RSU “Ya Tuhan ada apa dengan Deo?” batinku. Tanpa berfikir panjang aku langsung memasuki RSU dan menanyakan dimana Deo dirawat.
“Suster, tempat pasien yang bernama Deo Volenteo dimana?” tanyaku
“Sebentar saya lihat, em di ruang no 54”
“Terima kasih suster”
Ku berlari menaiki lift dengan menahan rasa khawatir ku terhadapnya, dan setelah itu…
“Kamu Nabila kan?” Tanya seorang ibu dengan berderai air mata di pipinya
“I.. Iya, Bu”
“Kamu yang sabar ya Nak” kemudian ibu itu memeluku “Saya ibunya Deo dan Deo telah tiada, Nak”
“Dia sakit apa, Bu?” tanyaku “Sakit jantung yang ia derita sejak kecil, Nak”
Seketika itu badanku lemas, aku tak dapat berbicara apa-apa lagi, aku merasa dunia berputar begitu cepat dengan kecepatan seperseribu per detik, ibu Deo memeluku dan selalu menguatkan aku supaya tabah menjalani bagaimanapun juga kami telah kehilangan seseorang yang berharga, aku tak berhenti menangis melihat Deo yang tertutup kain putih dan akan terkubur oleh gundukan tanah berhias kamboja. Oh Tuhan kenapa begitu cepat ia kau ambil? Sedang aku baru merasakan kasih sayang yang baru ia tanam hari ini? Dan kini tiada lagi canda tawa dan senyumnya di hadapanku, Oh Tuhan.. Kuatkan aku menjalani semua ini, dan untuk Deo kekasihku semoga engkau ditempatkan yang paling mulia disisi-Nya, tak lupa semua kenangan kita hari ini akan slalu kuingat sayang meski kini cinta kita terpisah dua alam dan berakhir sebuah air mata bertabur harumnya seribu kamboja, AKU TETAP MENYAYANGIMU.
“Kamu Nabila kan?” Tanya seorang ibu dengan berderai air mata di pipinya
“I.. Iya, Bu”
“Kamu yang sabar ya Nak” kemudian ibu itu memeluku “Saya ibunya Deo dan Deo telah tiada, Nak”
“Dia sakit apa, Bu?” tanyaku “Sakit jantung yang ia derita sejak kecil, Nak”
Seketika itu badanku lemas, aku tak dapat berbicara apa-apa lagi, aku merasa dunia berputar begitu cepat dengan kecepatan seperseribu per detik, ibu Deo memeluku dan selalu menguatkan aku supaya tabah menjalani bagaimanapun juga kami telah kehilangan seseorang yang berharga, aku tak berhenti menangis melihat Deo yang tertutup kain putih dan akan terkubur oleh gundukan tanah berhias kamboja. Oh Tuhan kenapa begitu cepat ia kau ambil? Sedang aku baru merasakan kasih sayang yang baru ia tanam hari ini? Dan kini tiada lagi canda tawa dan senyumnya di hadapanku, Oh Tuhan.. Kuatkan aku menjalani semua ini, dan untuk Deo kekasihku semoga engkau ditempatkan yang paling mulia disisi-Nya, tak lupa semua kenangan kita hari ini akan slalu kuingat sayang meski kini cinta kita terpisah dua alam dan berakhir sebuah air mata bertabur harumnya seribu kamboja, AKU TETAP MENYAYANGIMU.
Cinta Terakhir
Hai kenalin nama aku Mutia amelia putri, aku biasa
dipanggil Meli. Aku mempunyai pacar yang bernama Karisma efendi. Aku
sudah ngejalin hubungan sama dia hampir 2 tahun.
“Sayang” ucap seseorang dan berhasil membuatku kaget dia adalah fendi
“Jalan yuk” ajaknya
“kemana?” tanyaku
“Kita pergi ke mall mau kan?” ucap fendi
“Mau lah pastinya” ucapku
“Ya udah yuk” ucap fendi lalu merangkul ku
“Jalan yuk” ajaknya
“kemana?” tanyaku
“Kita pergi ke mall mau kan?” ucap fendi
“Mau lah pastinya” ucapku
“Ya udah yuk” ucap fendi lalu merangkul ku
Aku dan fendi pun berjalan menuju parkiran
“Sayang ke mall kita mau ngapain” tanyaku
“Gimana kalo nonton” ucap fendi
“Yuk boleh juga tuh” ucapku
“Sayang ke mall kita mau ngapain” tanyaku
“Gimana kalo nonton” ucap fendi
“Yuk boleh juga tuh” ucapku
Di Mall
Aku dan fendi pun berjalan menuju bioskop.
Aku dan fendi pun berjalan menuju bioskop.
Di bioskop
“Mba saya mau beli ticket film EMERGO 2 ya” ucapku
“Iya mau di seat berapa?” tanya mba penjaga
“ini” ucapku menujukan tempat yang akan aku dudukki
“Di theater 5 ya 30 menit lagi” ucapnya
“Iya makasih mba” ucapku
“Yuk” ucap fendi
“Yank 30 menit lagi foto box dulu yuk” ucapku
“Ya udah yuk” ucap fendi
“Mba saya mau beli ticket film EMERGO 2 ya” ucapku
“Iya mau di seat berapa?” tanya mba penjaga
“ini” ucapku menujukan tempat yang akan aku dudukki
“Di theater 5 ya 30 menit lagi” ucapnya
“Iya makasih mba” ucapku
“Yuk” ucap fendi
“Yank 30 menit lagi foto box dulu yuk” ucapku
“Ya udah yuk” ucap fendi
30 menit berlalu
“Eh sayang cepet dong udah main nih filmnya” ucap fendi
“Iya sayang tunggu” ucapku
“Yuk” ajak fendi
“Eh sayang cepet dong udah main nih filmnya” ucap fendi
“Iya sayang tunggu” ucapku
“Yuk” ajak fendi
Hari ini adalah tanggal 04 bulan 12 tepatnya hari ini adalah hari
anniversary kita yang ke 3, dan aku mau nyiapin tempat yang spesial buat
fendi dengan bantuan opik sahabatku. Tapi tiba tiba mataku kelilipan
“Eh mel loe kenapa?” tanya opik
“Gua kelilipan nih pik” ucapku
“Ya udah sini gua tiup aja matanya” ucap opik
Tapi tiba tiba fendi datang dengan rasa cemburu.
“Oh bagus loe itu gak inget apa kalo hari ini kita itu anniversary dan loe malah enak enak kan selingkuh” ucap fendi
“Gua itu kelilipan fen dan opik coba buat niup mata aku” jelasku
“Modus loe” ucap fendi
“Eh mel loe kenapa?” tanya opik
“Gua kelilipan nih pik” ucapku
“Ya udah sini gua tiup aja matanya” ucap opik
Tapi tiba tiba fendi datang dengan rasa cemburu.
“Oh bagus loe itu gak inget apa kalo hari ini kita itu anniversary dan loe malah enak enak kan selingkuh” ucap fendi
“Gua itu kelilipan fen dan opik coba buat niup mata aku” jelasku
“Modus loe” ucap fendi
Malam hari
kring kring… Suara ponsel fendi berbunyi
“Hah si opik” batin fendi lalu dia merejectnya
kring kring…
opik mencoba menghubungi fendi lagi
“Hallo” ucap fendi
“Fen loe ke rumah sakit MELATI INDAH ya soalnya Meli tadi kecelakaan pas mau ke rumah lo” ucap opik
“iya pik” ucap fendi panik
kring kring… Suara ponsel fendi berbunyi
“Hah si opik” batin fendi lalu dia merejectnya
kring kring…
opik mencoba menghubungi fendi lagi
“Hallo” ucap fendi
“Fen loe ke rumah sakit MELATI INDAH ya soalnya Meli tadi kecelakaan pas mau ke rumah lo” ucap opik
“iya pik” ucap fendi panik
Di Rumah sakit
“suster ruangan pasien yang namanya mutia dimana ya?” tanya fendi
“oh di ruangan mawar no 2706″ jawab suster
“Makasih ya sus” ucap fendi
“suster ruangan pasien yang namanya mutia dimana ya?” tanya fendi
“oh di ruangan mawar no 2706″ jawab suster
“Makasih ya sus” ucap fendi
Di Ruangan meli
“Mel” ucap fendi seraya memeluk meli
“Sayang happy anniv yang ke-3 ya, semoga kamu bisa dapetin yang lebih baik dari aku” ucapku
“Maksud kamu?” heran fendi
“Ada aja, I LOVE YOU FENDI” ucapku lalu menghembuskan nafas terakhir
“MEEELIIIIII” teriak fendi
“Ya udah fen ikhlasin aja” ucap opik
“Iya pik thank’s ya” ucap fendi.
“Mel” ucap fendi seraya memeluk meli
“Sayang happy anniv yang ke-3 ya, semoga kamu bisa dapetin yang lebih baik dari aku” ucapku
“Maksud kamu?” heran fendi
“Ada aja, I LOVE YOU FENDI” ucapku lalu menghembuskan nafas terakhir
“MEEELIIIIII” teriak fendi
“Ya udah fen ikhlasin aja” ucap opik
“Iya pik thank’s ya” ucap fendi.
0 komentar:
Posting Komentar